YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Senin, 16 November 2015

Kau tahu aku mencintaimu, karena itu aku mengikhlaskanmu

“Kau tahu aku mencintaimu, karena itu aku mengikhlaskanmu.”
Sepotong kalimat itu bukan aku yang membuatnya, hanya meminjamnya saja dari Milana, salah satu karya Benzbara yang sebenarnya belum sempat aku baca. Jadi jelas saja aku tidak sedang ingin me-review tentang isi dari Milana atau apapun. Aku hanya meminjam kalimat itu, dan ingin saja kau tahu bahwa aku juga punya “Kau tahu aku mencintaimu, karena itu aku mengikhlaskanmu.” versiku sendiri.
Konyol juga, aku kembali teringat kalimat itu tadi sore, saat aku menikmati angin sepoi-sepoi dari jendela angkot yang kutumpangi. Tapi bukan desau anginnya yang mengingatkanku, tapi playlist lagu di angkot itu. Kurang lebih satu jam kuhabiskan duduk sendu di dalam angkot dan semua jenis lagunya memang bikin mewek.
Naff. Lagu-lagu dari band itu kalian pasti tahu seberapa memiriskan musik dan liriknya. Duh, abang angkot ini menyentil hatiku yang gampang rapuh ini. Entahlah, mungkin pak supirnya memiliki kepribadian yang melankolis atau memang sedang galau, entah. Yang pasti deretan lagu-lagu itu berhasil memancing ingatan pada sepotong kalimat, hanya sepotong tapi membawaku ke sebuah ingatan yang lebih panjang.
Jika harus di reka ulang dari awal, biang keroknya bukanlah lagu dari si abang angkot, karena sebenarnya sudah ada siluet yang bercokol di benakku sampai akhirnya lagu-lagu itu mempertajam risau ini.
Aku melihatnya, maksudku aku kira aku melihatnya. Siluetnya. Aku menangkap siluet seseorang yang tak asing saat mampir berbelanja di supermarket sebelum pulang. Punggung seseorang itu mirip sekali dengannya. Ya memang, aku salah orang. Aku mengira itu dia. Jantungku sudah memompa dengan cepat sebelum akhirnya tahu bahwa aku salah. Apa karena terlalu panik hingga aku kelabakan sendiri? Tepatnya takut. Tak siap. Kejadian salah mengira itu akhirnya memberiku kebenaran, bahwa pengakuanku kemarin tentang semua telah kembali pulih kurasakan, tentang dia yang tak berpengaruh lagi di hari-hariku, buktinya.. jantungku bekerja tak normal saat kukira ia berada di sekitarku, aku masih sangat takut untuk bertemu. Untuk kembali bertatap muka, menatap matanya, apalagi untuk menyungging senyum?
Aku mengembuskan napas berat, lagu berikutnya “Kau masih kekasihku.”
Masih..
Jika kuingat kembali dan andai ia tahu, sebenarnya kami memang tak pernah benar-benar berakhir. Kami memang sama-sama telah melangkah saling menjauhi, tapi tak ada kata berakhir di antara kami sebelumnya, kecuali dari mulutku saat memintanya untuk tak kembali lagi di hidupku. Tapi, apakah ia ingat? Saat aku pernah berkata, “Tetaplah bersamaku, jangan kemana-mana. Berjanjilah untuk tetap tinggal bahkan saat aku memohon-mohon memintamu pergi.”
Sekali, duakali, berkali-kali aku mengusirnya saat marah dan ia tetap menepati janjinya. Karena itulah aku mencintainya. Sangat mencintainya. Jadi, jika sebuah kata perpisahan keluar dari mulutku, berapa kalipun takkan berarti apa-apa, itulah yang kita pahami kala itu.
Saat memutuskan bersamanya, aku tak ingin lagi mengenal apa itu pisah dan juga bukankah ia sudah berjanji? Hingga pertengkaran yang kesekian kali, ia pergi dan tak pernah kembali lagi.
Tapi kau tahu, aku tak pernah menganggap ia berkhianat tentang janjinya, mungkin saja dia lupa. Aku pikir begitu. Ya, setahun lamanya dia lupa akan janjinya untuk kembali padaku.
Masih? Masihkah kata “masih” pantas untuk menjadikan “kita”? Apakah hanya dengan “masih” saja sudah cukup menjadi alasan bahwa “kita” belum menjadi “aku” dan “kamu”?
Cukup!
Lagu ini benar saja menghipnotisku. Menyesatkanku dengan kata masihnya. Bodoh saja aku termakan lagu cengeng dan di robohkan begitu saja bendungan yang kubangun mati-matian beberapa bulan ini. Lagu ini memang menyentil, hanya menyentil saja. Aku pun ingat kala itu tersedu-sedu saat mendengar lagu yang sama.  Tapi seiring waktu berjalan dan aku belajar, air mata itu mengering sendiri, jika kalian ingin tahu karena apa? berkat luka dan juga Ibuku. Aku dikuatkan karena luka, dan aku memilih bahagia karena ibu. DIA sama sekali tak ada diantara alasan itu selain lebih baik kuikhlaskan.
Dahulu, ketika tahu bahwa keluarganya tak sudi memberikan restunya untuk kami, pun ketika dia sedang mencoba menjadi anak berbakti dengan meninggalkanku, harusnya aku membalas dengan ikhlas melepaskan. Dia memilih sesuatu yang memang bukan tandinganku, dia memilih wanita paling di sayanginya di dunia, ibunya. Lalu apa yang aku dapatkan dengan bersedih saat dia pergi? Bukankah ibuku akan lebih terluka melihat mataku berlinang terus menerus? Ketika dia sedang menunjukkan bakti pada ibunya, mengapa aku harus menyedihkan hati bundaku?
Perpisahan. Juga pertemuan dengannya adalah skenario Tuhan. Jika setelah perpisahan, ada pertemuan kembali, berarti itu karena kalian sudah janjian. Pftt, bukan itu. Pastilah itu bagian dari doa yang selama ini ditambatkan pada langit, entah doa siapa yang paling sesuai dengan inginNya maka jadilah, dan aku harus siap dengan segalanya. Tak peduli akan ada kepanikan seperti apa, bukankah itu wajar bagi dua orang seperti aku dan dia saat pertama kali bertemu lagi? Mengalir saja, ikuti alur yang telah ada, jangan memaksakan sesuatu atau kau akan merusak cerita yang ada, kata bang Tereliye sih begitu.
Angkot tumpanganku berhenti. Aku bergegas turun dan membayar ongkos, buru-buru keluar dari suasana pengapnya kenangan lama.
Hari ini aku mengingatnya kembali, jangan mengira rindu, aku sedikit banyak telah lupa cara merindunya.  Jikapun ini rindu, mungkin aku tak sengaja saja.


Minggu, 08 November 2015

Istirahat saja, Bunda

Aku menyeruput susu hangat yang kubuat beberapa menit yang lalu, hangatnya sudah memudar memang, tapi tak memudarkan seleraku untuk menandaskannya. Sengaja kuminum sedikit-sedikit agar kebosanan menulisku kali ini tak kambuh karena ada selingan menenggak minuman. Yah, aku sekarang memang sering bandel, selalu mengikuti kemalasan menulis yang sebenarnya ada banyak kosakata yang selalu ingin kumuntahkan di atas lembaran-lembaran itu.

Ah, terima kasih segelas susu hangatku, setidaknya karena kamu kemalasan itu bisa kutepis malam ini, setidaknya karena hangatmu, hatiku sedikit merasa baik. Sedikit.

Lelahku hari ini berkali lipat dari kemarin, baru saja kembali dari perjalanan yang luarbiasa-sangat-jauh-sekali, hmmpp sedikit berlebihan tapi kenyataannya memang begitu, kalau tak percaya, coba tanya saja mereka yang berangkat bersamaku jam 10 pagi tadi dan baru pulang jam 5 sore. Perjalanan hampir seharian, namun keperluannya tak cukup sampai 30 menit.

Acara Akad nikah. Menghalalkan memang tak memakan waktu berjam-jam, hanya beberapa menit saja. Hanya proses menujunya saja yang sebagian orang menempuh waktu berbulan hingga bertahun-tahun, menjalin yang haram sebelum dihalakan. Ada juga yang diam-diam berikhtiar, tunggu siap baru sigap menghalalkan. Choose what you wanna choose but everythings have consequence.

Sepanjang perjalanan tadi dipenuhi keluhan mereka yang tak lain adalah keluarga dekatku, aku mengerti tempat mempelai wanita memang jauh, eh ralat, luarbiasa-sangat-jauh-sekali. Di kabupaten Maros, desa Tompo Bulu’ , katanya sih desa paling ujung, tak adalagi desa setelahnya selain gunung yang menjulang. Selain di penuhi peluh keringat, aku juga digerogoti rasa malu, tidak enak dengan keluhan-keluhan mereka, bagaimana tidak, aku adalah adik mempelai pria. Hari ini adalah hari pernikahan abangku, untuk kedua kalinya.

Setelah perceraiannya dengan mantan istrinya setahun lalu, perpisahan yang menggoreskan luka dalam di hati ibuku, abangku akhirnya memantapkan langkahnya hari ini untuk memulai kehidupan baru bersama wanita yang baru dikenalinya 2 bulan lalu, perkenalan singkat, sepertinya mereka berdua tak butuh waktu lama untuk meyakinkan diri setelah kegagalan yang masing-masing pernah mereka alami. Sepenuhnya adalah pilihan abangku. Aku, ibu dan kakak perempuanku hanya mendukung, apapun itu asalkan itu menjamin tak ada lagi luka gores untuk ibu kelak. Aku pribadi merestui apapun kebaikan yang disegerakan. Semoga di sana, Abahpun ridho, insha Allah.

Ahh,ibuku.. Aku sebenarnya hanya ingin berceloteh lebih banyak tentangnya saja,

Tadi pagi, sebelum berangkat aku sempat melirik saat beliau berusaha menyamarkan kusam dan kerutan di wajahnya dengan dandanan. Ibu, lelah itu, lelah itu tetap disana, aku menangkapnya dengan jelas. Lelahnya lebih lelah dari lelahku, lelahnya lebih dari siapapun yang membopong mempelai pria tadi, lelahnya sudah lama, lama sekali.

Tidur paling akhir, terjaga paling awal, entah sejak kapan kebiasaan itu beliau mulai, mungkin sejak dipersunting abahku, atau sejak mengandung kakak sulungku, atau sejak pertama menjadi ibu, entahlah aku tak pernah mempertanyakan soal itu walaupun seringkali ingin kusampaikan, “Sejak kapan lelah tak ibu sebut lelah?” Atau “Lelah yang seperti apa yang baru ibu sebut lelah?”

Jika ingin menyendu mungkin sekaranglah waktuku, saat semua orang telah pulang dan hening datang, saat aku hanya berdua, menatap ibuku yang terlelap, mencoba menerjemahkan setiap garis waktu di wajahnya. Jika itu adalah garis kehilangan, berarti ada banyak bongkahan rindu yang beliau simpan dalam diam.

"Tahukah kau bunda, hari ini sudah berlalu dengan baik sebaik doa-doamu untuk anakmu, terutama untuk abang yang kemarin menjadi beban di benakmu, hari ini hari baru baginya bersama istrinya, tak perlu secemas kemarin, kini akan ada yang merawatnya kembali walau tak sama lagi, tapi bunda, tetaplah dengan doa baikmu itu, Allah selalu suka lirih dari hati wanita setulus dirimu. Segalanya bisa diperbaiki dengan kebaikan, meski yang terlihat masih saja terlihat buruk, tetaplah dengan doamu.

Jangan bersedih ketika tak banyak orang yang di sisimu ketika berduka, ketika bersusah, bahkan ketika sedarahmu pun abai, ada pula yang yang menghardik tentang aib, biarkan saja, ada aku dan kakak-kakak, ada abah disana, ada Allah, engkau sudah punya segalanya, kau tahu? Jadi sudahlah, usah cemaskan hari esok.

Pun jika setelahnya engkau akan risaukan tentang siapa yang akan meminangku, dahulukan  risauku dulu tentang bagaimana aku kepadamu besok dan seterusnya, aku akan risau jika engkau sakit dan berduka, akan risau saat tak bisa memperlakukanmu dengan baik. Biarkan takdir melaju di atas relnya, jangan coba membelokkan apalagi menghentikan, akibatnya bisa fatal, untuk apa pikirkan soal kereta  yang sudah jelas telah ada yang mengaturnya.

Malam ini istirahat saja, Bunda."

Akhirnya malam tiba juga
Malam yang kunantikan sejak awal
Malam yang menjawab akhir kita
Inikah akhir yang kita ciptakan
Dan pagi takkan terisi lagi
Lonceng bertingkah sebagaimana mestinya
Membangunkan orang tanpa membagi
Sedikit asmara untuk memulai hari
Tidurlah, malam terlalu malam
Tidurlah, pagi terlalu pagi
( Payung Teduh – Tidurlah )



Posted via Blogaway