YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Kamis, 09 April 2015

Dia - Sebuah pertemuan dan buku tua

Sesungguhnya aku tidak mengerti beberapa hal di dunia ini. Pertama tentang mengapa kebahagiaan harus diukur berdasarkan takaran orang lain, padahal hidup kita sepenuhnya adalah milik kita sendiri.
Lalu mengapa ada orang yang memilih berhenti di satu titik luka. Bagi si A, dua tiga luka saja belum cukup dan bagi si B, satu luka sudah membuatnya jera untuk memulai lagi.  Bukankah masih ada beribu episode di depan mata? Dan katanya, Luka-luka itulah yang kadang menjadi alasan kita masih harus melanjutkan langkah. Kadang aku ingin berjalan lagi. Kadang aku ingin berhenti. Lebih sering aku ingin berhenti karena takut jatuh dan terluka.


Juga tentang rindu, hal paling membingungkan yang pernah kutemui di dunia setelah dia. Bagaimana tidak, semakin disekap, rindu semakin lantang berteriak. Semakin lama, rindu semakin dalam dan berakar. Rindu pun tak tahu malu, menjadi-jadi begitu saja tanpa menyadari yang dirindui pantas atau tak pantas dirindukan. Aku benar-benar tak mengerti maksud Tuhan menciptakan rasa menyebalkan itu.

Dan terakhir adalah "dia". Objek yang sering didengung-dengungkan sebagai si istimewa atau si paling bermakna jika dikaitkan dengan urusan asmara. Kadang "dia" diibaratkan pengharapan, penantian, mimpi besar, tujuan akhir, ijabah do'a, cinta sejati atau lebih spesifiknya disebut pendamping hidup. Ya, mereka menyebutnya "dia" dan yang tak kupahami adalah mengapa tak kunjung ada "dia" untukku.

Aku pikir ketika aku mulai beranjak dewasa, aku akan bertemu satu persatu penjelasan atas pertanyaan yang mendekapku. Namun nihil. Malah semakin kesini, dekapan itu semakin erat dan membuatku sesak. Usiaku hampir menginjak angka tiga namun belum juga aku mengerti apa itu bahagia, luka, rindu dan dia.

Memuakkan. Benar, aku mulai muak akan pertanyaan yang kuciptakan sendiri selama ini. Apakah aku harus menciptakan jawaban sendiri agar semua sempurna menjadi karangan yang mudah kupahami? Anggaplah seperti ini, semua yang terjadi, semua yang kurasakan hanyalah kepura-puraan. Aku akan mencoba meyakini apa yang orang lain yakini, agar aku lega dan akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri. Juga berdamai dengan ibu tentunya yang seringkali kami bersitegang membahas perjodohan dan pernikahan.

Tapi mustahil. Sangat sulit bagiku untuk mengiyakan sesuatu yang tak sepenuhnya bisa kuiyakan. Semisal kebahagiaan. Umumnya uang, popularitas, jabatan, pasangan dan hal bergelimang lainnya adalah beberapa alasan mengapa orang-orang itu baru bisa bahagia setelah merengkuh semua atau salah satunya. Tapi aku sejujurnya tidak menemukan bahagia dengan itu. Mengapa? Entah. Aku sendiri bahkan tak tahu kapan aku bisa menyebut diriku bahagia. Mungkin jika ada yang mampu mempersepsikan kebahagiaan dan hal lainnya itu menjadi lebih sederhana, polemik dalam pikiranku akan mereda.

Sampai akhirnya, aku bertemu orang itu.

Diandra, pria koleris bersorot mata tajam sesungguhnya akrab disapa Andra. Hanya aku yang memanggilnya, Dia. Kurasa kalian tahu alasan mengapa aku yang melankolis ini lebih senang memanggil Diandra dengan Dia. Selain itu, ketika aku berkata "Hanya Dia", "Selalu ada Dia" atau "Aku percaya Dia" di sela percakapan, entah mengapa perasaan aneh mencelus ke dalam hatiku hingga membuatku amat suka mengulang kalimat yang dipadukan dengan kata "Dia".

Pertemuanku dengan Dia, anggap saja takdir.
Aku datang ke Cinnamons Coffee, cafe langgananku, untuk kopi, laut dan matahari terbenam. Aku suka menyaksikan senja dari terasnya yang mengarah ke pantai.

Sore itu, seperti biasa aku datang melepas penat. Bekerja sebagai operator call center sebuah perusahaan telekomunikasi membuat telingaku mendengung dan memanas setiap hari saat diterpa omelan dan rutukan pelanggan. Aku butuh senja dan bau laut yang sejenak mampu melonggarkan urat sarafku.

Langkah kakiku terhenti. Mataku berpencar.

"Maaf mbak, meja di smoking area sudah penuh. Silahkan ke meja sebelah sana."

Seorang pelayan wanita menghampiri sambil mengarahkanku ke meja lain dan oh tidak aku takkan melihat keindahan senja seutuhnya dari dalam cafe.

"Tapi aku mau meja yang di teras."

"Mbak bisa menunggu sebentar kalau mau."

Aku melirik langit yang telah disapu warna orange terang. Menunggu dan senjanya sudah berlalu. Untuk apa?

"Sepertinya tidak. Terima kasih."

"Silahkan duduk disini, kita bisa berbagi meja."

Suara itu berasal dari pria yang duduk sendiri tak jauh dari tempatku dan pelayan itu berdiri. Pria berkaos abu-abu itu tersenyum ramah. Sedetik aku ragu. Tapi untuk senja yang sebentar lagi, aku akhirnya bersedia semeja dengan pria asing.

Setelah berterima kasih, aku menaruh ponsel dan duduk di sebelah kursi kosong di hadapannya. Sengaja untuk menghindari tatapan langsung. Kau tahu, bagi beberapa orang, ia tak suka ditatap.

"Satu hot capuccino."





Tak lama, pelayan tersebut datang kembali membawa pesananku.
Secangkir capuccino, dua cangkir espresso, dua buah smartphone dan sebuah buku kini memadati meja bundar kami.

Aku melempar pandangannya ke arah laut dan menyaksikan langit yang mulai terbakar. Orange, memerah lalu menghitam. Semua berlangsung begitu cepat.

"Aku Amora." Balasku saat pria berkaos abu itu memperkenalkan dirinya lebih dulu.

"Sepertinya Amora sangat menyukai sunset."

"Iya. Kau sendiri duduk disini demi apa? Sunset, pantai atau kopi?"

"Demi gadis-gadis berpakaian mini di tempat ini. Gadis seksi pencinta kopi, bagiku itu keren. Lebih keren lagi kalau gadis itu sedang sendirian." Sahutnya disusul tawa.

"Tidak, hanya bercanda. Aku juga suka sunset." Ralatnya cepat.

Aku mengangguk tersenyum. Entah mengapa aku lebih mempercayai pengakuan pertamanya. Kau tahu, pria tampan sekaligus ramah cenderung playboy. Jika kalian mudah dikelabui kemurah hatiannya, wajar saja. Menipu adalah keahlian para bangsat.

Pria berlesung pipi itu memang tampan dan manis. Tapi gagal membuatku terkesima. Ia terlalu pecicilan dan juga apa kau mengira pria itu adalah Dia? Samasekali bukan. Pertama, Dia tidak ramah. Kedua, Dia tidak suka sunset.

Andra lalu datang, em maksudku Dia lalu datang menghampiri kami.

"Kau lama sekali di toilet. Ayo kenalkan, namanya Amora. Aku tidak tega melihat gadis cantik berdiri tak kebagian meja, jadi kutawari duduk disini." Satya, si pecicilan itu berbicara pada Dia.

Dia menatapku tajam. Dia tak membalas senyumku, sedikitpun tidak. Sungguh, sikapnya menyebalkan. Pikirku, mungkin ia keberatan aku duduk di meja itu.

"Hai."

Hanya itu. Tak menggubris penjelasan Satya. Dia bahkan tak menyebutkan namanya lalu berselonjor acuh di kursi tepat di hadapanku. Sibuk bermain ponsel.

"Aku kira kau disini sendirian. Maaf mengganggu kalian, aku duduk di dalam saja." Ujarku pada Satya. Kugamit tasku hendak beranjak.

"Tidak. Tidak perlu. Temanku ini sedari tadi sudah merengek ingin pulang, katanya tak ada yang menarik dari sunset."

Mereka berdua kemudian berpamit. Tidak, hanya Satya yang pamit. Dia hanya tersenyum tipis. Sangat tipis.
Sepulangnya, aku bahkan tak mengetahui namanya.

Dan sekali lagi, anggap ini takdir. Sebuah buku yang terlihat lusuh bertuliskan Live life by Dy pada sampulnya ketinggalan di meja. Aku berbaik hati menunggu sebentar, siapa tahu mereka datang kembali mengambilnya sekaligus minta maaf atas sikap Dia yang sangat sok. Aku memang masih kesal jika mengingat keangkuhannya tadi.

Kubuka lembaran-lembaran yang telah menguning. Aku tidak begitu paham isinya, mungkin karena aku membacanya dengan melompat-lompat halaman saja. Tepatnya, aku memang tak suka membaca. Namun jemariku terhenti di sebuah paragraf, pada bab berjudul The happiness is.

"Bahagia adalah ketenangan. Bahagia adalah melengkapi. Saat anda menemukan seseorang yang mampu menutupi segala kekurangan anda, juga sebaliknya kelebihan anda  mampu menutupi cacat seseorang itu, kalian secara otomatis akan bertemu dengan ketenangan. Tak ada ketakutan atau kecemasan apapun. Semua berada dalam konteks penerimaan yang tulus."

Bahagia adalah saat kau merasa tenang. Aku mengulang kalimat itu dalam hati.

Kubuka halaman terakhir, mencari catatan yang memuat tentang penulisnya. Foto Dia disana. Ini lelucon?

Dy. Diandra.

Aku akhirnya tahu namanya dari buku itu dan Dia seorang penulis? Pria seangkuh Dia berbicara tentang kehidupan? Dia berniat menyemangati hidup orang banyak sedangkan secuilpun Dia tak tahu cara memperlakukan orang lain.

Buru-buru aku pergi meninggalkan cafe. Aku batal menunggu mereka menjemput bukunya.
Buku tua itu kuadopsi.




To be continued...



Posted via Blogaway

Tidak ada komentar:

Posting Komentar