YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Minggu, 05 April 2015

Gadis bertudung biru muda





Tubuh mungil itu sibuk memeluk dirinya sendiri. Belulangnya ngilu, sendi-sendinya terasa lepas dari tempatnya berpaut. Kedua lututnya yang meski rapuh namun masih tabah menopang kepala yang sesak akan penat. Wajah itu bersitatap dengan tanah dan rambut sebahu jatuh pasrah menyentuhnya. Sehelai kain biru muda remuk dalam remasan. Shayna terlalu lelah hari ini. Bukan hanya hari ini, tapi sejak berhari-hari yang lalu. Tak ada yang tahu tepatnya kapan, yang jelas raganya kini ringkih digerus rutinitas.

Namun salah jika orang-orang beranggapan sebongkahan rutinitas itu yang membelenggu Shayna, bukan. Malah gadis itulah yang mengejar-ngejar apapun pekerjan yang bisa ia lahap mentah-mentah. Baginya, kewajiban sebagai manusia di zaman ini hanya mengisi jam-jam yang diberikan Tuhan sebelum terpanggil. Agar ada yang membedakan dirinya dan seorang mayat. Itu saja. Selain itu, ia sama sekali tak memikirkannya. Shayna tak peduli apapun lagi.

Kepala yang sedari tadi tunduk, kini nekat mendongak ke atas langit. Bulan sedang mempertontonkan keindahan fenomenanya. Apakah Shayna peduli indah itu? Tentu saja tidak. Sekalipun seluruh benda langit beratraksi, berdansa dalam satu garis lurus, ia takkan berdecak kagum. Mengapa? Karena sesuatu yang lebih indah dari apa yang disaksikannya sekarang pernah ia angankan namun pada akhirnya berubah menjadi fana bahkan sebelum menjadi nyata. Lenyap bagai kepulan asap rokok yang dulu sering disesap dari hembusan napas seseorang. Harapan indah itu menguap begitu saja.

Shayna menepis kristal bening yang luruh di wajahnya. Kristal yang seketika menghitamkan pipi yang tadinya merona merah, lumeran dari celak mata. Kristal itu merusak riasannya yang beberapa jam lalu ia senjatakan untuk menarik perhatian lelaki mata keranjang. Entah dari mana asalnya kristal-kristal itu. Mungkin peluh, mungkin juga dari ujung matanya. Yang pasti, kedua muasal tersebut sama-sama disebabkan karena ia telah lelah. Dan sekali lagi kukatakan, Shayna lah yang mengejar lelah itu hingga menjadikannya tak memiliki tenaga sama sekali. Bahkan untuk sekedar mengedipkan mata. Ia pikir jika waktunya dipenuhi kesibukan yang menggila, tak ada memori yang mengusiknya lagi. Ia pikir mudah saja mengusir bayang dengan letihnya yang luar biasa. Ia pikir jika telah menggelak tawa, ia sudah berhasil menghapus jejak luka. Ia pikir, ia bisa bahagia.

Adakah Shayna pernah terpikir untuk merasa? Merasa bahwa tak ada yang berubah dari kabungnya meski ia menghimpit dirinya dengan segala macam riuh dan peluh lelah. Karena bagi para penonton, Shayna hanya sedang lihai mengenakan topeng. Namun dimanakah letak topengnya? Shayna sendiri bahkan tak tahu. Apakah tawa adalah sebuah topeng? Ataukah kain dalam genggamannya? Entahlah, yang pasti kain  penutup kepala itu kini lusuh di tangan pemiliknya.

Ia kalah. Shayna mengaku kalah. Ia hanya berpura-pura menang yang sebenarnya ia tahu, suatu saat dirinya pasti akan kalah. Oleh seseorang atau bahkan siapapun. Betapa ia memahami bahwa tudung seorang wanita adalah apa yang paling dihormati di dunia ini namun tak semua adam menginginkannya. Diangankan namun lebih sering dilengserkan dari pilihan. Seperti itukah mahkota pelindung dipermainkan? Sigap Shayna menenggak minuman sebagai penuntas atas asumsinya barusan.

Tak terduga, dulu serumit apapun masalah yang dihadapi gadis itu, takkan membuatnya sudi duduk semeja dengan cairan yang telah merenggut kesadarannya sejak setengah jam lalu itu. Kini, Shayna tengah ditertawakan botol minuman karena ia akhirnya mabuk berat, hingga membuatnya menyeret kain yang menutup kepalanya lalu dicaci makinya benda itu. Bagi Shayna tudung itu amat memedihkannya. Ia kehilangan segalanya hanya karena sehelai kain itu. Cinta dan keperawanan, tudung yang amat dijunjungnya bahkan tak mampu mempertahankan salah dua atau bahkan salah satu saja. Haruskah ia menghabisi nadinya malam ini juga? Botol-botol minuman keras itu sepertinya bersedia membantu.Tidak, cara itu terlalu menyakitkan dan bertele-tele. Shayna ingin berakhir dengan cara yang lebih singkat dan sederhana. Seperti melompat dari atap gedung berlantai tujuh belas tempat ia duduk.

Kaki rapuh itu berusaha berdiri, menopang tubuh yang sebentar lagi terpisah satu sama lain. Mungkin akan sedikit menyakitkan ketika terpental atau tertusuk sesuatu di bawah sana. Namun tak masalah, rasa sakit kecil itu akan menghapus rasa sakit yang lebih besar.

Shayna terhuyung, berjalan selangkah demi selangkah menuju tepi gedung. Angin malam menerpa kulitnya yang sebentar lagi sobek sana-sini. Jalanan telah lengang, ia menerka mungkin sekarang pukul dua atau tiga dini hari, dimana tak seorangpun terjaga dan berteriak histeris saat melihatnya di atas sini. Tuhan tak menghadirkan apapun untuk menahan langkahnya kali ini. Ia bisa terbang bebas malam ini. Mungkin Tuhan telah mengiyakan keputusan gadis keras kepala itu.

Terhitung sekitar 245 jam setelah pernikahan lelaki yang amat dicintainya. Rupanya ia bisa melewati ratusan detak jam itu. Bayu, lelaki yang memutuskan menikahi kemolekan dan keseksian tubuh sahabatnya sendiri setelah beberapa kali menggerayangi tubuh-tubuh lain. Termasuk tubuh Shayna. Benar, ia ditikam dua orang sekaligus. Sebagaimanapun ia bertahan, ia sudah pasti akan kalah.

Shayna memejamkan matanya. Seperti inikah detik-detik sebelum manusia mati? Kenangan menyerbu, menyesaki rongga dada. Betapa ia ingin kembali ke masa itu, betapa ia akan merindukan orang-orang itu. Noda dosa itu telah membelitnya. Sekalipun ia kembali, ia bukan lagi Shayna dengan senyum yang sama. Shayna kini lupa cara untuk tersenyum seputih dulu.

Shayna berjinjit, tubuhnya semakin miring kedepan. Sedetik kemudian sepasang kaki itu tak lagi menapak. Shayna bisa merasakan tubuhnya meroket lalu..

Oh, bagaimanakah peliknya duka Shayna? Hingga tega menghabisi diri seperti ini. Sejauh apa ia menjaraki Tuhan? hingga bisik sang penguasa tak lagi menggema di inderanya.

Shayna terkesiap, bangun dari tunduknya. Tubuhnya yang meringan, ia masih bisa merasakannya dengan jelas. Debarannya kini memburu bersama peluh berkucuran mengaliri pipinya, tak ada celak, tak ada riasan. Juga tak ada botol minuman itu. Apakah ia telah mati? Shayna berdiri, menuju tepi. Tak ada raga yang hancur di bawah sana, tak ada bekas tumpahan darah.

Tak ada apa-apa kecuali tudung biru muda yang masih ia kenakan. Shayna terlelap cukup lama disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar