YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Jumat, 24 April 2015

Pak tua dan si Putih



23 April di tahun itu jatuh pada hari minggu. Hari dimana kebanyakan orang libur dari rutinitas dan menghabiskan tiket bebas penjaranya untuk bersantai dan liburan, entah bersama keluarga atau tanpa siapa-siapa.


Harusnya hari minggu juga dinikmati bocah 13 tahun itu, setidaknya lepas dari penatnya pelajaran sekolah - yang sebenarnya tidak seberapa dibanding kepenatan saat ia dewasa nanti - dan bermain seharian saja dengan riang.

Tapi tak ada hari minggu baginya. Tepatnya, tak ada istilah bermain riang lagi untuknya. Tahun itu, bagi sang bocah segala yang dilakukannya terasa hambar. Bahkan untuk sebuah permainan anak-anak. Bagaimana mungkin, teman bermain terbaiknya kini tak lagi bisa bermain. Si Pak tua dan seekor kucingnya, si Putih.

Kali ini, bocah itu menolak beranjak saat dipanggil ibunya. Tidak, ia ingin tuli malam ini. Ia muak dan ingin protes bagi siapa saja yang melarangnya untuk sesuatu hal yang baginya aneh. Ia tak boleh bertemu dengan Pak tua dan si Putih. Kata ibu dan kakak-kakaknya, ia tak boleh mendekati dua sosok yang amat dirindukannya itu. Tanpa ada yang paham, bagaimana kehilangannya ia setelah larangan aneh itu, tak ada daya, ia hanya bocah yang akan dipelintir daun telinganya jika membantah. Ibu dan kakak jahat!

Tidak, ibu dan kakak sebenarnya tak jahat. Ibu dan kakak terlalu sering berwajah sedih dan muram, itulah yang menyebabkan mereka menjadi jahat. Sepolos itu pikiran si bocah. Tapi tak ada tolerir lagi. 2 hari yang lalu si Putih mati. Tanpa sempat ia dibiarkan bertemu, kucing itu didapati tak bernyawa lagi di atap rumahnya.

Bocah itu marah, tak terima akan larangan yang membuatnya tak sempat merawat si Putih saat sakit. Bocah itu menangis, menyesal karena tak mampu menggantikan Pak tua menjaga kucingnya. Ya, si Putih adalah peliharaan Pak Tua. Pria itu memeliharanya karena si bocah menyayangi si Putih dan Pak Tua amat menyayangi si bocah.

Si bocah bergeming dari duduknya walau berkali-kali ibunya memanggil. Benaknya bersorak, akhirnya ia bisa masuk ke kamar pak tua setelah berbulan-bulan lamanya. Awalnya, ia tak yakin pria itu adalah Pak tuanya. Pria yang terbujur di hadapannya terlalu rapuh. Hati sang bocah sakit. Ia mengulum bibir, bingung bagaimana caranya ia menyampaikan pada Pak tua bahwa si Putih telah tiada. Ia takut, ia sedih. Ia ingin menangis namun ditahannya kuat-kuat.

Sekali lagi, ia tak menghiraukan seruan ibunya. Mata sipitnya lamat-lamat menatap garis di dada Pak tua. Dulu, tulang rusuk Pak tua tak semenonjol itu. Sekarang, dada itu naik turun dengan jeda yang cukup lama. Meski remang, ia bisa menangkap banyak perbedaan. Pak tua kini lebih banyak diam dan lebih banyak tidur. Lampu kuning kecil di atas kepala si bocah bersinar seadanya, membuat nyamuk betah bergumul di kamar pengap dan lembab itu. Air belum surut benar dari bawah ranjang Pak tua. Musim hujan masih memeluk kota, membekukan duka yang dirasai bocah itu.

Kulit tipis itu dihinggapi nyamuk. Satu, dua, banyak sekali nyamuk. Sebuah handuk kecil dikibas-kibaskan sang bocah untuk menghalau nyamuk serakah - yang lebih mirip koruptor penghisap hak rakyat tak berdaya - di tubuh Pak tua. Ia memilih mengusir nyamuk saja, niatnya memberitahu Pak tua tentang kematian si Putih diurungkan. Besok saja, pikirnya.

Meski matanya mulai perih dan kepalanya terantuk beberapa kali karena mengantuk, tetap dipaksa jua membelalak. Lelap Pak tua terlalu lelap. Ia tak tega seekor nyamukpun membangunkan Pak tua.

Si bocah mengerjap-ngerjap. Berkedip pelan lalu kelopak itu terbuka. Sudah pagi, ia terlewat shalat subuh. Ia segera bangun, hendak protes pada ibu karena tak membangunkannya. Tapi sebaliknya, malah ia yang disemprot ibu karena tertidur di samping Pak tua padahal ibu melarangnya untuk tidak mendekat. Ia mendengus kesal lalu ke kamar mandi mencuci muka.

Wajahnya basah, ia mencari-cari handuk kecil yang  dipakai mengibas nyamuk semalam. Mungkin ketinggalan di ranjang Pak tua. Bocah itu berjalan pelan menuju kamar, ia hanya ingin mengambil handuk. Itu saja. Alasan sudah dikepalanya jika saja ia dimarahi lagi nanti.

Ibunya berdiri disana, tepat di pintu kamar. Terpaku.

Langkah si bocah mendekat ke arah ibunya yang menatap Pak tua - yang masih dengan lelapnya - dengan roman penuh kecemasan. Tanpa sempat bertanya ada apa, bocah itu mendapat jawabannya sendiri. Pak tua, yang semalam dadanya naik turun dalam jeda yang lama, kini tak berjeda lagi. Pak tua terlelap tenang tanpa napas yang tersengal-sengal.

"Bapakmu sudah pergi, Nak." Kata ibunya dengan suara bergetar.

24 april, 2 hari setelah kepergian si Putih, Pak tua menyusul. Teman bermain si bocah, mereka pergi untuk selama-lamanya.


*

Pukul 22:10 aku terbangun. Mengerjap-ngerjap sebentar lalu kelopak mataku membuka. Kudapati novel tebal Tereliye berjudul Rindu dalam genggamanku. Rupanya aku tertidur saat membacanya tadi. Belakangan aku memang sering ketiduran. Mungkin karena terlalu lelah dan tak ada jatah tiket bebas penjara yang membuat jam istirahatku terbengkalai.

Hari ini, aku memang pulang kemalaman sehabis menjenguk teman di Rumah Sakit. Kebetulan saat aku disana, Ayah, Ibu dan saudaranya, semua juga disana. Keluarga mereka hangat, apalagi Ayahnya, aku bisa melihat persahabatan si Ayah dengan anak-anaknya begitu erat.

Sorot matanya yang penuh kekhawatiran pada anaknya yang sedang terbaring. Sorot yang tak akan kau dapati pada orang lain selainnya di dunia ini.

Tahun 2006 lalu,  tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini, aku juga menghabiskan malam bersama Ayahku dalam pembaringan. Walau sebaliknya, ayah yang terbaring dan aku yang sibuk menghalau nyamuk di tubuhnya. Kau tahu adakah yang lebih indah dari kesederhanaan kami? Tidak ada. Sungguh, tak ada cinta yang lebih tulus dari potret kala itu meski sebatas bocah yang amat takut seekor nyamuk mengganggu lelap ayahnya di sebuah kamar remang nan kumal.

Ayahku mengidap kanker ganas dan aku yang saat itu dianggap masih kecil, disarankan untuk jauh dari jangkauan Ayah karena kesehatanku masih rentan kata mereka. Padahal, setelah dewasa aku baru tahu, tak ada pengaruhnya penyakit Ayah dengan kesehatanku sendiri. Entah siapa yang dulu pertama kali mengeluarkan statement itu.

Malam terakhir bersama dengan Ayah malam itu amat damai. Persis seperti kepergiannya. Ia pergi tanpa pamit dalam lelapnya. Lelap yang selamanya.

Meski menyesali mengapa untuk waktu yang lama aku malah dijauhkan dari Ayah dengan alasan yang tidak masuk akal, tapi satu hal yang membahagiakan darisana adalah Tuhan maha adil, menghadiahkanku satu malam terlelap di sisi Ayahku yang kupikir aku akan kehilangan kesempatan seperti saat si Putih pergi.


Usah kujabarkan separah apa rinduku kini.
Tetaplah dalam damaimu, Pak tuaku.


- Sepotong cerita mengenang 9 tahun kepergian Alm. M. Idrus bin Saleh.




Posted via Blogaway


Tidak ada komentar:

Posting Komentar