YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Rabu, 28 Oktober 2015

Kembali


Apa kabar Ayah, apa kabar masa lalu, apa kabar kalian yang kusayangi namun tak lagi bisa kutemui?

Apa kabar..

Sudah sejauh apa jarak memisahkan aku dengan kalian? Sejauh apa hingga dengan alasan apapun, kini kita takkan bisa bertemu lagi, bahkan untuk sekedar sapaan pun tidak, tak mungkin bisa.

Apa kabar huruf-huruf yang kemarin sempat berderet dengan indah, tersusun rapi diantara kebahagiaan dan kesedihan, kemana para tulisan yang kuretas di atas lembar-lembar itu? Mengapa ia ikut membisu sebisu sang penulis?

Menulis, padahal hanya dengan menulis seseorang bisa menari bersama aksara, mengais masa lalu dan menyapa orang-orang yang amat dirindui. Di atas tulisan, seseorang bisa menumpulkan kerinduan yang teramat tajam. Bahkan tak perduli kertas telah koyak, pena menjadi lengah, jari jemari patah, manusia akan selalu bisa menulis bukan? Ataukah ada bagian lain yang telah patah selain jemari itu?

Apa kabar langit
Bolehkan kulemparkan pertanyaan pada kelammu?
Mengapa bintang tak bersamamu?
Apa mereka tak ingin di sampingmu lagi?
Benarkah bintang memilih pergi?

Ahh.. Perpisahan.

Semakin lama, semakin banyak orang yang tak bisa kutemui, mengapa semakin banyak alasan yang hadir untuk memisahkan? Mengapa rindu itu semakin menebal saja? Apakah ini yang memang harus dialami orang-orang dewasa? Jika ya, biarkan aku menjadi bocah untuk waktu yang lebih lama.

Jika kau balik bertanya, mengapa, katakan saja bahwa aku bocah yang terlalu mencintai zamannya.

Butuh hati yang lapang untuk memahami kekelaman langit di atas. Sembari menikmati hening, maukah mendengar satu cerita hangatku, ini khusus kusuguhkan untukmu semilir angin yang bertiup lebih kencang dari beberapa jam lalu, cerita ini datang dari awan yang sering kau halau siang dan malam, mungkin satu cerita ini belum pernah kau dengar darinya.

Sempat bertanya-tanya, mengapa aku harus menjadi awan.” Begitulah awan mengawali ceritanya.

“Mengapa? Kau tak suka menjadi awan?”Tanyaku.

“Aku menyukainya, dulu. Namun saat aku tahu bahwa menjadi awan berarti aku harus rela di terbangkan kesana-kemari, aku tak lagi yakin bahwa aku suka menjadi diriku.”

“Bukankah itu menyenangkan, kau bisa pergi ke tempat-tempat baru, melihat belahan bumi lain, kau takkan bosan dengan rutinitasmu.”

“Benar, tapi bagaimana jika kau dibawa ketempat yang tak kau kehendaki sementara tempatmu mengudara kini telah membuatmu merasa nyaman. Tak tehitung telah berapa tempat yang kudatangi, telah berapa banyak awan lain dan langit seperti apa yang menaungiku, telah berapa ribu burung yang melewatiku di senja yang berbeda dan itu tak masalah bagiku sampai akhirnya aku merasa amat sangat bodoh tercipta sebagai awan.”

“Ada satu tempat yang membuatku menemukan bahagia untuk pertama kalinya. Tak ada yang istimewa di langitnya namun bumi dan manusianya di bawah sana yang tentram dan saling menyayangi satu sama lain itu membahagiakanku. Kedamaian dari bawah sana sampai kepadaku yang membuatku tak ingin pergi kemanapun lagi. Tapi bukankah aku awan yang harus senantiasa pergi? Aku terluka menyadari takdirku. Tak bisa memilih bahagiaku sendiri.”

Aku tertunduk mengakhiri ceritaku pada angin. Mungkin setelah mendengar semuanya, perasaan bersalah menghampirinya, sama sepertiku. Aku sedikit menyesal telah menyampaikan cerita yang sengaja di sembunyikan awan padanya selama ini, yang akan membuatnya menyadari bahwa dialah selama ini membawa awan kesana-kemari sekehendaknya. Tapi kau tahu, sang angin tak semenyesal perkiraanku, ia bahkan tertawa kecil setelahnya.

“Aku tahu ia bersedih ketika kujauhkan dari hal yang dicintainya. Kesedihan dan kekecewaan telah merubah dirinya menjadi awan hitam sejak beberapa waktu lalu, hujan yang ia turunkan amat deras hingga setiap sisi bumi yang disinggahinya menjadi bencana bagi alam. Baginya semua tempat bernaung adalah buruk. Apakah ia sadar bahwa egonya telah menghancurkan berbagai tempat termasuk tempat yang dicintainya dulu?”

“Maaf jika diriku harus mengetahui ini terlebih dulu sebelum kau menceritakan, aku tahu sejak lama dan aku membiarkan. Kuterbangkan ia kesana kemari agar bisa paham apa itu datang dan pergi. Tak ada yang konstan di dunia ini, hidup berarti bergerak, hidup adalah pindah. Tak ada yang perlu disesali dari sebuah perpindahan, andai kita paham bahwa akan selalu ada indah di setiap pindah. Setiap sisi bumi ini akan sama indahnya jika saja ia melakukan tugasnya dengan pemahaman yang baik. Tanpa perpindahan ia takkan tahu di belahan bumi mana ia harus tertawa dan di belahan bumi mana ia harus menangis.”

Aku terdiam. Berusaha memahami kalimat per kalimat yang dituturkan sang angin.

Perpisahan? Mungkin tak ada perpisahan, yang ada hanya perpindahan. Tak ada yang benar-benar pergi dan menghilang, terkadang hanya diberi jalan dengan cabang yang berbeda, untuk belajar, untuk lebih banyak memahami maksud baik Tuhan.

Karena sejauh manapun angin menghempasmu, sejauh apapun arus membawamu, muara yang sama akan mempertemukan.. Kembali..



Posted via Blogaway


Tidak ada komentar:

Posting Komentar