YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Senin, 19 Januari 2015

Terlalu pagi

Aku tidak pernah menyangka bahwa kehidupan setelah pernikahan adalah rumit. Bahkan sangatlah rumit. Saat usiaku masih kanak-kanak hingga menginjak remaja, kebahagiaan dan keindahan kebersamaan setelah menikah menjadi draft-draft indah dikepalaku. Walaupun saat itu, aku sudah sedikit mengerti bahwa akan selalu ada pertengkaran dan perselisihan yang terselip di setiap episodenya.

Tapi setelah melihat ayah dan ibuku bermusuhan setelah bertengkar, ada satu kebiasaan yang membuat kemarahan dan gengsi diantara mereka tak betah untuk hinggap. Dulu semasa ayah masih hidup, saat tahu ia dan ibu sedang tidak rukun, aku selalu iseng memancing mereka duduk bersebelahan. Entah itu dengan dalih mengajak ibu menonton tivi jika kulihat ayah sudah mejeng terlebih dulu di sana. Saat sedang asyik-asyiknya menonton, pelan-pelan, aku yang telah duduk di tengah-tengah mereka mulai menarik tangan ayah kemudian tangan ibu dan memautkan jemari keduanya sambil cekikikan. Tak lama akan kulihat senyum malu ibu juga ekspresi ayah yang berusaha menahan tawa, tapi akhirnya terbahak juga. Karena gigi depan ayah beberapa sudah tanggal alias ompong jadi setiap kali tertawa, gusi yang tak bergigi itu akan terlihat dan membuat kami tertawa. Ibu sering mengejek gigi ompong ayah dan jika sudah seperti itu, beliau pasti akan segera memeluk ibu dan aku akan sesak ditengah-tengah mereka. Konyol? Tidak, itu indah. Bagaimana mungkin aku tidak menjadikan pernikahan sebagai mimpi besarku?
Menikah lalu hidup bahagia. Keinginan itulah yang bercokol di kepala anak belasan tahun masa itu. Menganggap bahwa potret kisah ayah dan ibunya adalah siluet dari kisahnya bersama seseorang nanti. Sesederhana itu.
Seiring berjalannya waktu, aku akhirnya tiba di penghujung masa remaja. Masa dimana harus bertemu dengan segala sisi kehidupan yang sebenarnya, termasuk kehidupan pernikahan yang selama ini menjadi mimpiku. Masih samar memang, tapi kenyataan yang muncul satu persatu, entah kejadian itu berasal dari orang terdekat atau orang tak kukenal sekalipun, kejadian yang menyibak keaslian dari anganku selama ini. Bahwa segala cinta dan kebersamaan dalam rumah tangga hanya seujung kuku dari yang kudapati semasaku kecil dulu. Lebih dari itu semua tak lain adalah luka dan penyesalan.

Aku tak pernah mengira sebelumnya, kalimat yang terlontar dari mulut wanita setelah ia menikah penuh dengan caci maki. Tak ada kebahagiaan yang kudapati dari sorot matanya saat menyambut suaminya pulang. Wanita mana yang mampu menyambut jika setiap malam suaminya pulang larut dan tak memberikan sepeserpun nafkah. Sama tak mengiranya aku saat kudengar tangis salah seorang tetanggaku saat mendapati suaminya berselingkuh atau saat ia dipukuli, juga sampah-sampah yang dimuntahkan teman-temanku tentang penghianatan, kekerasan juga pengabaian yang dilakukan pasangannya. Jika kutanyakan mengapa mereka baru meratap sekarang, jawabnya, yang terjadi dulu dan sekarang berbeda, sejauh bentangan langit dan bumi.


“Waktu kita masih pacaran, dia enggak sekasar itu sama aku.”
“Setelah nikah, dia mulai enggak loyal. Masalah belanja harian pun, mesti dia yang ngatur.”
“Aku emang belom liat dengan mata kepala aku sendiri, tapi firasat aku enggak mungkin salah. Dia lagi deket sama cewek lain. Dia bahkan udah enggak peduli sama anak sendiri.”
“Seandainya kita masih pacaran, udah lama aku ninggalin dia.”
“Aku udah enggak kuat disakitin terus.”
“Setiap aku nanya soal perempuan itu, dia selalu nampar aku.”

Seperti menonton sebuah teater terkejam, langkahku mundur teratur. Ini menakutkan. Aku ingin lekas terbangun. Semua tidak lebih dari mimpi buruk yang kuuntai dengan asumsi-asumsi indah karanganku sendiri. Pernikahan bahagia itu tak pernah ada, semua hanya hasil gubahan skenario dari pencipta dongeng cinta menyesatkan. Isakan tangis dan teriakan marah, inikah realita dari kehidupan rumah tangga itu sendiri? Semesta bungkam, langit tak menyahutku.
Aku tidak mendapat jawaban selain anggukan dari batinku sendiri.
Untuk beberapa waktu, aku memilih membiarkan kehidupanku mengikuti arusnya saja. Terserah itu akan semakin memperjelas sketsa dari mimpi buruk itu sendiri atau kenyataan baru akan menyangkal kesaksian yang pernah ada.
Sampai akhirnya, perkenalan membawaku pada seorang rekan kerja yang kuakrabi kini. Jangan sebut ia Mawar, Melati saja, karena Mawar sudah terlalu mainstream di saat sekarang. Mengapa ku samarkan? Tidak, aku tidak berniat menceritakan aib seseorang, hanya tak ingin saja menampilkan nama asli tanpa seijinnya pemiliknya terlebih dulu.
Kak Melati dan aku memiliki selang usia yang cukup jauh. Sekitar 10 tahunan. Tapi bahan pembicaraan kami selalu selaras serasi. Kak Melati yang pandai mengimbangi topik jiwa mudaku, dan aku yang selalu tertarik dengan pembahasan yang masih sama, tentang Pernikahan dan kehidupan berumah tangga.
Berbeda dengan yang sudah-sudah. Kak Melati selalu sumringah setiap kali aku menanyakan tentang keluarga kecilnya. Padahal ia bukan pengantin baru tapi tingkahnya seolah dimabuk cinta setiap hari.
“Aku beruntung punya suami kayak dia. Kalo mau sesal-sesalan, mungkin dia yang menyesal udah nikahin aku.” Kami tertawa.
Seperti yang kutahu, memang benar suami Kak Melati bisa dikategorikan suami jempolan. Selain pembawaannya yang kalem dan dewasa, ia juga taat beribadah. Kak Melati yang juga sosok wanita sholehah dengan jilbab menjuntainya terlihat pas bersisian dengan suaminya.
“Tapi bertengkar pasti pernahkan kak?”
“Jelaslah pernah. Mustahil suami istri enggak pernah bertengkar sama sekali. Sekarangpun kami sesekali masih berselisih paham, tapi seperti itulah, marahannya enggak pernah lama.”
“Suamiku tempramen, aku pun enggak kalah cerewetnya. Tapi suamiku tahu batas kalo lagi kesel sama aku. Banting pintu pernah, tapi dia tahu semarah apapun, dia enggak akan ngebanting aku juga. Darisana aku belajar buat ngendaliin omonganku. Biar gimanapun 'kan dia suami yang harus aku hormatin. Ridho Allah ke aku ada sama dia.”
Aku hanya manggut-manggut. Entah yang diungkap Kak Melati patut kuyakini, entahlah.
“Hey, kamu enggak harus memusingkan hal seperti ini sekarang. Kamu masih muda, lebih baik fokus raih mimpi sekaligus mantasin diri.”
“Do you know what makes me so scared about marriage?”
“Cause you don’t believe yourself.”Jawabnya.
Alisku mengernyit.
“Kamu enggak yakin sama diri kamu bisa dapet pasangan yang baik, bukan karena di dunia ini enggak ada pria baik. Ada, cuman kepercayaan diri kamu nol karena kamu belom ngerasa pantas aja. Kamu takutkan persis kayak mereka yang gagal? Enggak semua pasangan kayak gitu setelah menikah. Kalo kamu baik, dapet suami yang baik, semua akan baik-baik aja ke depannya. Makanya perbaiki diri kamu dari sekarang. Yang buruk-buruk dipangkas, yang baik-baik disuburin. Kebaikan bisa ngerubah apa aja, termasuk jodoh.”

"Coba kalo kamu percaya kebaikan yang sering kamu lakuin bisa berdampak baik buat masa depan kamu, kamu enggak akan cemas soal calon suami dan rumah tangga kamu nanti."

Tak berkutik. Kak Melati seperti sudah membongkar habis isi kepalaku.

“Kalo boleh jujur, sama sekali aku enggak suka sama suamiku dulu. Kita dijodohin sama orangtua, bayangan tentang pernikahan singkat sempat terlintas. Tapi karena kepercayaan aku kalo semua takdir Allah yang terbaik sekalipun aku enggak suka, dan surprise! Allah menjatuhcintakan aku akhirnya. Suamiku ngebimbing aku jadi perempuan yang lebih baik, gimana hati aku enggak kebalik jadi suka.”
Merasa sangat beruntung aku dipertemukan Kak Melati. Bisa mendengar pengalaman dan nasihat luar biasanya seperti pelita yang menyelinap masuk ke pemikiran kelamku. Haru sekaligus lega.
Tanyaku pada semesta terjawab melalui mulut saudariku. Allah selalu menjawab seruan hambaNya, jika tidak sekarang, suatu saat nanti pasti.
Benar, semua asal kebaikan tak lain dari diri kita sendiri. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika bukan kaum itu sendiri yang berusaha mengubahnya. Kebaikan itu berkhasiat. Mengobati ketakutanku pun iya. Kita tidak pernah tahu masa depan kita satu detik ke depan, tapi kita tahu kebaikan yang kita toreh di detik ini akan membawa kita kemana di detik-detik setelahnya. Tentunya pada kebaikan juga.

Mungkin aku yang masih terlalu pagi menanggapi hari.

Untuk Saudariku, Kak Melati, Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar