Aku kembali melirik ponselku, tak ada chat darinya
malam ini. Mengapa? Mengapa aku harus menunggu? Mengapa aku harus mencari? Biarkan
saja, memangnya untuk apa aku menunggu dan mencari? Ya, tak seharusnya seperti
itu.
Tak seharusnya.
Tak seharusnya.
Tapi kenyataannya, tidak bisa dipungkiri lagi, aku memang
sedang menunggu pesan darinya, mencari-cari sesuatu seolah ada sosok yang
hilang, sosok yang belum genap sebulan lamanya mengisi malam-malamku, yang
sungguh dulunya aku tak ingin diusik oleh apa atau siapapun tapi malah menjadi
seperti ini akhirnya.
Sampai detik ini pun aku juga
masih mempertanyakan “Mengapa harus?”. Benar, Mengapa harus? Bukankah dia sosok yang baru saja ku
akrabi belum lama ini? Yang semakin hari, aku semakin di banjiri pertanyaan-pertanyaan
serta asumsi-asumsi berkembang biak dengan sendirinya.
Apa benar tanpa sadar aku sedang mendoktrin diri sendiri
untuk mempercayai satu hal? Satu hal apa?
Lihat, sekarang muncul lagi pertanyaan baru-satu hal apa itu. Kubilang juga apa, semakin memikirkan tentang sosok itu, semakin banyak pula pertanyaan yang menohokku.
Lihat, sekarang muncul lagi pertanyaan baru-satu hal apa itu. Kubilang juga apa, semakin memikirkan tentang sosok itu, semakin banyak pula pertanyaan yang menohokku.
Biar kuceritakan awal dari sebuah ketidakjelasan ini.
Dia, Stranger yang kini bertransformasi menjadi seorang yang begitu nyaman
kuajak berbagi. Stranger yang juga adalah
sosok misterius di mataku. Bukan, dia bukan tipe orang yang sengaja
me-misterius-kan diri, tapi mungkin keadaanlah yang membuat ceritanya menjadi
sedikit membingungkan.
Konyol memang, perkenalan kami
yang di biang keroki aplikasi socmed-Blackberry Messenger, dan semakin dekat
hanya melalui ketikan jemari setiap pagi, siang, dan malam. Berbagi banyak hal
setiap waktu, menceritakan hal-hal yang sama sekali tak ditanyakan satusama lain, dan aku
masih ingat dengan jelas pertanyaan pertama yang muncul di benakku kala itu, “sejak kapan
kami terbiasa untuk saling mengabari?”
Tapi aku membiarkan pertanyaan itu berhembus begitu saja,
kuabaikan seolah itu bukan hal yang perlu dipertanyakan.
Aku mengenalnya sejak.. sejak.. ah aku lupa tepatnya
kapan, yang kuingat dia masuk dalam list kontak BBM-ku sekitar dua atau tiga
bulan yang lalu, dan percakapan pertama kami baru dimulai sebulan yang lalu, tentang
Display picture-nya yang menarik
perhatianku, dia memasang foto seorang Guru besar kampusnya dulu (sekarang
menjadi kampusku, ya kita sekampus ternyata.) yang baru saja wafat.
Aku menanyakan tentang Almarhum yang tak begitu familiar
bagiku, dan dia meresponku dengan baik dan ramah. Hanya sebatas itu hingga
percakapan kami berakhir malam itu.
Beberapa hari berikutnya, saat aku mengganti Display picture milikku, tiba-tiba ia
mengirimiku sebuah emoticon Big smiley, aku tidak mengerti apa artinya jadi
kubalas saja dengan basa-basi menanyakan kabar. Sempat berharap semoga saja dia
masih mengingatku, dan aku senang karena dia memang ingat dan kembali meresponku dengan sangat ramah, dia menanyakan balik kabarku dan juga kabar orang tuaku, heran bercampur
senang, ada orang asing yang menanyakan kabar ibuku, lalu mengalirlah percakapan
siang itu, tanpa sadar perbincangan kami berlanjut hingga larut malam.
Entah sudah berapa lama aku baru berbincang selama dan seasik ini dengan
orang asing walaupun hanya melalui ketikan jemari. Aku menyenangi keramahan dan
keterbukaannya, yang selalu bersemangat menjawab pertanyaaan-pertanyaanku, terutama saat dia menyimak celotehan penting dan tak pentingku, aku merasa sanagat dihargai. Dia selalu bertutur dengan sederhana namun wawasan luas yang dia miliki bisa nampak dengan jelas, ilmu pasti adalah bidang utama pekerjaannya, seorang pendidik berusia seperempat abad yang suka bercanda
sama sepertiku, juga Blogger sejati yang dulunya sempat berpura-pura memintaku mengajarinya membuat blog, yang benar saja.
Dia, sosok yang mampu membuat seseorang merasa dekat dengannya, dia bahkan tak sungkan-sungkan berbagi keluh padaku, termasuk tentang ibunya yang bertahun-tahun menderita sakit, dan semakin hari kesehatannya semakin memburuk, mungkin inilah alasan mengapa dia selalu menanyakan kabar ibuku juga. Dia menceritakan bagian hidupnya padaku tanpa beban sedikitpun , seolah aku adalah orang yang telah lama dikenalnya. Hingga sedikit demi sedikit aku mulai membuka diri, aku bercerita panjang lebar dan mencoba berbagi padanya, seakan lupa tentang diriku yang dulunya begitu menyenangi kesendirian.
Dia, sosok yang mampu membuat seseorang merasa dekat dengannya, dia bahkan tak sungkan-sungkan berbagi keluh padaku, termasuk tentang ibunya yang bertahun-tahun menderita sakit, dan semakin hari kesehatannya semakin memburuk, mungkin inilah alasan mengapa dia selalu menanyakan kabar ibuku juga. Dia menceritakan bagian hidupnya padaku tanpa beban sedikitpun , seolah aku adalah orang yang telah lama dikenalnya. Hingga sedikit demi sedikit aku mulai membuka diri, aku bercerita panjang lebar dan mencoba berbagi padanya, seakan lupa tentang diriku yang dulunya begitu menyenangi kesendirian.
Lalu masihkah sosok berkacamata ini bisa kusebut Stranger? Satu pertanyaan baru lagi.
Hingga tibalah aku disini, aku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan. Bukankah perkenalan selalu butuh pertemuan? Sama seperti mereka, aku juga akhirnya mengharapkan sebuah
pertemuan, tak hanya sekedar berbincang dalam sapaan tanpa suara. Sekalipun
nyaman, terkadang aku seperti berhalusinasi, tetap saja dia tak nyata. Tapi
harapan itu hanya bertahan sebentar lalu menguap, saat kusadari kami terpisah
ribuan kilometer dari tapak masing-masing. Aku menyadari akhirnya bahwa kami (mungkin)
tak akan memiliki kesempatan untuk saling mengenal lebih jauh dan lebih nyata. Semua
karena, jarak.
Perlahan, kupupuskan keinginan
konyolku itu, termasuk kegiatan konyol yang mulai membiasa padaku. Menunggu
kabarnya. Ini tidak sehat, aku tak boleh
membiarkan diriku terbiasa oleh sesuatu ataupun seseorang, aku tak boleh membiarkan perasaanku berulah lagi. Tidak, tidak boleh.
Akupun bertekad, hari berikutnya akan kubalas chatnya
singkat-sesingkat singkatnya. Dan rencana itu tak semudah yang kukira.
Dia, seperti yang kukatakan tadi, adalah sosok yang menyenangkan,
dia bak magnet yang membuatku selalu tertarik dengan pembahasan kami setiap
hari, dan lagi beberapa pertanyaan kembali bermunculan.
“Apa salahnya untuk
sekedar mengobrol? Dia cuma butuh teman sharing, sama sepertiku. Pembahasan kami
pun tak pernah menjurus kearah yang aneh. Lalu mengapa harus berpikiran aneh-aneh?
Anggap biasa saja.”
“Lalu bagaimana dengan segala perhatian yang dia berikan?
Dia terlalu perhatian untuk dianggap biasa saja.”
“Aku mungkin belum
mengenalnya saja, bisa jadi dia memang tipe orang yang perhatian kepada
teman-temannya. Aku sudah dianggap temannya, jadi ini hal wajar.”
“Tapi bagaimana dengan..”
“Dengarkan, jika
memang merasa ada yang salah sekarang, maka kesalahan itu terletak pada perasaanku sendiri yang sibuk menguntai asumsi. Asumsi yang dikarang olehku sendiri.
jangan terlalu cepat mengartikan, bukankah kata hatiku selalu bodoh dalam membaca
sinyal?”
Benar. Seperti tersambar
oleh kalimat-kalimatku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menjauh. Malam
itu, aku memutuskan untuk tidak menyapanya terlebih dulu, kebetulan malam itu dia
juga sedang sibuk menyelesaikan ketikan modul untuk mahasiswanya yang akan deadline
besok sehingga chat kami malam itu tak selancar hari-hari sebelumnya, dan aku mengambil
kesempatan itu, pelan-pelan menjauh hingga akhirnya lost contact, aku berharap seperti itu.
Malam itu, aku sempat ketiduran dan bangun ditengah malamnya. Setelah menunaikan sholat malam, aku mengaktifkan paket data ponselku, beberapa pesan dari
berjam-jam lalu masuk, termasuk pesan darinya yang melarangku untuk begadang, tapi
bukan isi chatnya yang menarik perhatianku saat itu melainkan isi personal
message-nya. Rasa
cemas mulai menyergapku, aku segera membalas chatnya terburu-buru, menanyakan apa yang terjadi, balasan darinya pun semakin membuat kecemasanku
bertambah, dia sedang di UGD, ibunya tiba-tiba kritis, darah keluar dari hidung
ibunya lalu segera dilarikan ke rumah sakit di kotanya.
Astaghfirullahaladzim.
Aku mencoba menenangkannya, aku tahu ia pasti sangat panik
dan kalut, apalagi ia belum tidur samasekali, modul yang sedang berusaha ia
selesaikan pun pasti sekarang sudah terbengkalai. Tiba-tiba, aku tidak bisa terlelap lagi hingga
subuh datang. Aku mengkhawatirkannya.
Keesokan paginya aku kembali
menanyakan keadaan ibunya sekaligus keadaannya, tak henti aku mengiriminya pesan, tentang rencanaku yang tak akan memulai percakapan lagi dengannya, terlupakan begitu saja. Dia sedih, dia ketakutan, sangat takut jika harus kehilangan ibunya, dan menguatkannya adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan. "Semua akan baik-baik saja."Kataku. Hanya berselang sebentar sejak ibunya dirawat, jumat siang kudengar kabar pilu itu, ibunya meninggal.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Sungguh hatiku pun seperti diiris sembilu siang itu. Saat
aku sedang makan siang di kantor, selera makanku hilang seketika saat mendengar
kabar itu. Ingatanku sontak berputar, mengingat hal-hal yang kemarin dia ceritakan padaku,
dia yang belum lama memilih mengontrak sendirian dan sesekali ibunya datang
menemani, ibunya yang sudah lama menderita sakit dan menolak untuk dioperasi,
yang setiap malam ketika kami berbincang, sesekali dia menghilang cukup lama karena
ibunya tiba-tiba muntah atau kesakitan, dia yang sempat berpikir untuk mendonorkan salah satu ginjalnya untuk ibunya, dia yang
tak memiliki saudara, ayahnya yang sudah lama berpulang, dan kini
ibunya pun menyusul pergi.
Dia sebatang kara, jelas merasa tak punya siapa-siapa
lagi, itulah kenyataan paling pahit yang ditakdirkan Tuhan padanya hari itu.
Masih dalam ketidakpercayaan, aku menangis dalam sholat Dhuhurku, mengingat banyak hal, tentang mati, tentang ibu, tentang kehilangan,
tentang dia, dan juga tentang aku yang kemarin memutuskan untuk menghentikan
keakraban yang ada. Aku kembali mempertanyakan hal yang sudah kuputuskan. Tegakah diriku menjauh di saat kondisinya seperti itu? Sehari setelah ibunya
dikebumikan pun, kembali diriku mencoba mengabaikan dirinya, tapi malah dia
mengirimiku satu pesan yang kuartikan bahwa dia tengah mencariku, bagaimana mungkin
aku bisa tak peduli? Bagaimana mungkin aku tega seperti itu.
Sungguh aku tidak bisa.
Tentang seribu pertanyaan yang
menyerangku, apapun itu, aku tak peduli. Yang kutahu kini, aku
mengkhawatirkannya, sangat mengkhawatirkan orang asing itu. Sosok yang belum
pernah kutemui langsung sekalipun, yang bahkan untuk mendengar suaranya pun tak
pernah. Aku tidak berani mengartikan kekhawatiran ini apa, pikirku itu tak
perlu. Aku hanya ingin menemaninya, ingin ada untuknya, aku tak ingin dia
berpikir bahwa dia tak punya siapa-siapa sekarang, sekalipun dunia pergi
meninggalkannya, aku takkan kemana-mana, itu yang sangat ingin kusampaikan padanya. Aku tak berharap apa-apa. Sungguh. Secuilpun tidak. Aku hanya ingin
ada untuknya. Itu saja.
Dan setelah kepergian ibunya, dia berubah banyak,
kesedihan dan keterpurukan benar-benar menyelimutinya, dia benar-benar rapuh. Dan
aku memahami itu, berusaha untuk terus memahami kedukaannya. Semakin haripun, tampak
semakin banyak masalah yang harus dia hadapi, sekalipun dia tak memberitahuku
dengan jelas, aku tahu ia ditengah-tengah situasi yang merumit, sendirian,
tanpa ibunya lagi, tanpa satu-satunya wanita yang paling mengerti dirinya.
Beberapa kali aku mencoba menenangkan dan mendengarkan
keluh kesahnya, berharap itu akan membuatnya sedikit merasa lebih baik, namun
entah mengapa semakin lama akulah yang merasa ini semakin salah. Kesadaran menyergapku
tiba-tiba, kesadaran bahwa aku sedang berada di tempat dan waktu yang salah. Kehadiranku
tak berarti banyak, aku hanya bayangan yang hadir disetiap dering pesan
masuknya, yang hanya bisa menoreh berbaris-baris kalimat untuk menguatkan
pundaknya.
Aku sepertinya melangkah
terlalu jauh memasuki hidupnya, aku lupa diriku siapa, hanya si "bukan siapa-siapa" yang
mencoba mengusap punggungnya saat dia menangis tergugu. Bodoh. Tak sadarkah aku
selama ini bahwa dia sosok yang tak mampu kujangkau, apa aku lupa tentang jarak, tentang beda, yang tak akan membuat aku dan dia menjadi nyata.
Dulunya kupikir perkenalan ini
bukan sekedar kebetulan. Semua adalah kamuflase dari rencana Tuhan, itu yang pernah kukatakan padanya, dan aku sendiri yang meragukannya sekarang. Aku mungkin salah,
harus hadir di waktu yang salah, hadir di saat keadaannya begitu rapuh, kuusik
sedikitpun dia akan lunglai bak selembar tissue yang dicelupkan ke dalam air.
Dan malam saat kutuliskan ini, tepat seminggu setelah
ibunya pergi, akupun berpikir untuk menjauh kembali, keputusan yang sempat tertunda dulu, aku ingin menggenggamnya kembali.
Aku percaya, kehadiranku yang tak berarti banyak dan
belum lama ini tidak akan memberi efek yang berarti padanya. Aku akan menjadi
kepingan yang mudah untuk dia lupakan saat kesibukan menghampirinya nanti.
Tapi lagi..lagi.
Hanya karena sebuah pesan darinya, yang mencariku, membuatku menoleh kembali.
Tapi lagi..lagi.
Hanya karena sebuah pesan darinya, yang mencariku, membuatku menoleh kembali.
"Jangan tinggalkan aku." Pintanya. Jemariku tertahan untuk membalas, getir kurasakan seketika.
Aku mengutuk diriku, mengapa ego begitu menguasai pikiranku. Dia sendirian, dia butuh seseorang di sisinya, mengapa aku lantas ingin pergi?
Kembali kubujuk hatiku, untuk melawan segala ketakutanku selama ini, sudah waktunya aku keluar dari tempat teramanku. Mimpi buruk dan lukaku yang belum sembuh, kesendirian yang dia rasa mungkin lebih buruk dari itu semua. Kuhela nafas panjang lalu kukatakan aku takkan kemana-mana, takkan pernah.
Aku mengutuk diriku, mengapa ego begitu menguasai pikiranku. Dia sendirian, dia butuh seseorang di sisinya, mengapa aku lantas ingin pergi?
Kembali kubujuk hatiku, untuk melawan segala ketakutanku selama ini, sudah waktunya aku keluar dari tempat teramanku. Mimpi buruk dan lukaku yang belum sembuh, kesendirian yang dia rasa mungkin lebih buruk dari itu semua. Kuhela nafas panjang lalu kukatakan aku takkan kemana-mana, takkan pernah.
Ketahuilah, aku berbohong jika
kukatakan aku tak bersedih jika tak mendengar kabarnya lagi.
Bukan hanya karena dia masih terus mencariku, tapi karena memang aku tidak benar-benar ingin pergi.
Dan seperti yang terjadi, aku kembali pulang, menujunya. Aku tahu akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan itu lagi. Tentang "Mengapa aku harus berbalik arah?" juga Seribu, Dua ribu hingga Berjuta-juta pertanyaan lagi. Mungkin ini akan cukup melelahkan nantinya, tahu aku akan larut dalam kebingungan untuk menjawab tanya, dan dia selamanya tak perlu tahu kegaduhan yang terjadi. Bebannya sudah terlalu banyak untuk dia pikul seorang diri, dan aku tak ingin menjadi salah satu dari beban-beban itu. Dia sedang susah payah berjuang untuk bangkit, dan aku tak harus merecoki hidupnya. Bagiku, ini bukanlah kisah tentang "Kita", tapi tentang "Aku" yang ingin ada untuknya, selamanya hanya akan ada aku, agar tak ada cerita tentang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan kelak.
Bukan hanya karena dia masih terus mencariku, tapi karena memang aku tidak benar-benar ingin pergi.
Dan seperti yang terjadi, aku kembali pulang, menujunya. Aku tahu akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan itu lagi. Tentang "Mengapa aku harus berbalik arah?" juga Seribu, Dua ribu hingga Berjuta-juta pertanyaan lagi. Mungkin ini akan cukup melelahkan nantinya, tahu aku akan larut dalam kebingungan untuk menjawab tanya, dan dia selamanya tak perlu tahu kegaduhan yang terjadi. Bebannya sudah terlalu banyak untuk dia pikul seorang diri, dan aku tak ingin menjadi salah satu dari beban-beban itu. Dia sedang susah payah berjuang untuk bangkit, dan aku tak harus merecoki hidupnya. Bagiku, ini bukanlah kisah tentang "Kita", tapi tentang "Aku" yang ingin ada untuknya, selamanya hanya akan ada aku, agar tak ada cerita tentang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan kelak.
Sang maha, Dia selalu tahu kapan dan kemana cerita ini harus berbelok atau berhenti berkisah.
***
Aku kembali melirik ponselku yang berdering tanda pesan masuk, segera kuraih dan kubaca.
Senyum tipisku tersungging perlahan.
Dia menanyakan aku dimana seperti biasa. Dia mencariku, dia masih mencariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar