Entah mengapa setiap mendengar kabar seorang wanita akhirnya dipinang,
apalagi wanita itu adalah orang terdekat (Keluarga, sahabat, teman, tetangga,
bahkan selebriti), rasanya campur aduk antara bahagia, haru juga sedih. Sedih
tentunya, bisa dibilang cemburu tepatnya, jika yang mendengar itu adalah seseorang yang belum menikah. Seperti aku.
Ya Allah yang Maha, lindungi aku dari rasa cemburu yang tak
baik bagiku. Sungguh, malam ini aku tak tahu harus menumpahkan kemana kecemburuan
ini, jika bukan padaMu, tak ada tempat yang tepat untuk membuang perasaan yang
memalukan ini.
Bagiku, ini memang memalukan. Mencemburui seseorang adalah
perasaan paling pengecut yang pernah ada, perasaan yang menandakan betapa kita
mengasihani diri sendiri dengan cara yang buruk. Perasaan yang akan lebih baik
untuk tidak di umbar kemanapun, jika kita saja kasihan pada diri sendiri,
bagaimana dengan orang lain. Mereka sekaligus akan tertawa mengejek.
Karena itulah, selepas mendengar kabar pernikahan sepupu
terdekatku, tak hentinya aku melempar tawa bahagia di tengah keluargaku yang
sedang berkumpul tadi, sesaat setelah pelamaran itu usai. Aku menggelak tawa
bersama sepupu lainnya, seolah kebahagiaan benar kurasakan, tapi Allah yang
maha mengetahui segala isi hati, benar tahu aku tak benar tertawa. Ini palsu,
jelas palsu. Aku pun tak membiarkan diriku lebih lama larut dalam sukacita
mereka, sehingga aku memilih pulang lebih dulu dan berdiam diri di kamar.
Beberapa kali aku berusaha mengingatkan diri sendiri, untuk menghalau segala
rasa iri dan cemburu yang mulai mendera. Sempat Ibu menegurku, menanyakan apa
yang terjadi padaku, ya ibu memang selalu tahu. Aku hanya menggeleng pelan kemudian berlalu. Harusnya akulah yang bertanya kepada ibu saat aku menangkap keharuan
yang tak biasa di wajahnya. Mengapa? Apa ibu juga merasakan hal yang sama
denganku? Apa ibu kecewa padaku? kepada putrinya yang belum lama gagal menikah
dengan seorang pria yang begitu dipercayainya?
Aku menutup wajahku dengan bantal. Sungguh aku tak ingin
menangis malam ini. Aku tak ingin menangisi kegagalan itu lagi. Jauh hari,
telah lelah kubujuk diriku untuk ikhlas menerima semua. Aku hanya tak ingin,
hanya karena satu tetes airmata, aku dianggap gagal menjalani proses
menyakitkan ini. Aku ingin melewatinya dengan baik, tanpa airmata lagi.
“Semua ada waktunya.” Bak
mantra, entah berapa kali aku mengulang kalimat itu malam ini. Agar perasaan
memalukan itu tak betah meradang di dadaku. Ya Allah, salahkah aku cemburu
karena ini? Salahkah aku jika mengharapkan sesuatu yang suci seperti
pernikahan? Aku tak meminta banyak, hanya mempertanyakan, bagaimana denganku? Mengapa
dengan mudahnya, saudaraku dipinang kekasih yang begitu dicintainya, yang telah
bersamanya bertahun-tahun dan akhirnya Engkau persatukan. Menikah dengan orang
yang sangat kita cintai, adakah yang lebih beruntung dan membahagiakan dari
itu? Semua orang menginginkan, dan aku tak menafikkannya, aku juga ingin. Tapi
lihat yang terjadi, sampai sekarangpun luka ini bahkan belum sembuh. Lalu dimana
letak kebahagiaanku sendiri? Dimana?
Astaghfirullah al adziem..
Ampuni hamba ya Allah..
Hamba benar-benar telah melampaui batas. Melampaui batas
urusan yang tak boleh kujamah. Tentang ketetapan siapa, dimana, dan kapan Allahlah
yang memiliki aturan main.
Aku menahan malu di hadapan Allah untuk kalimat-kalimat yang
terlintas di benakku barusan. Aku bahkan belum memiliki kepantasan apa-apa
sudah menuntut macam-macam, bahkan dengan marah-marah?
Inni akhafullah,
sesungguhnya aku takut Allah.
Aku mencoba beristighfar saja akhirnya, berusaha menghindarkan diri
dari asumsi yang keliru dan menjebak. Setelahnya, barulah kurasa dada yang tadi
bergemuruh, meredam perlahan, meski tak benar-benar hilang, setidaknya aku bisa
mengendalikan diri dari kesesatan hati dan pikiran.
Dan apalagi yang bisa menjadikan perasaanku lebih baik jika
tak mengingat kalimat Ibuku,
“Jodoh berarti pulang. jodoh itu selalu pulang ke tempat dimana seharusnya dia berada. Jodoh itu tidak pernah pulang lebih cepat atau lebih lambat. Jodoh tidak perlu memilih dia akan pulang ke tempat terdekat atau terjauh, karena jodoh tak peduli jarak, jodoh hanya peduli dimana tulang rusuk itu memanggil-manggil pemiliknya. Jodoh itu sederhana, tidak pernah rumit.”
Aku takkan pernah lupa kalimatnya, kalimat yang Ibu
dengungkan tepat saat seseorang pamit pergi dari hidupku dan memilih menikah
dengan wanita pilihan Ibunya. Bagaimana mungkin Ibuku bisa sekuat itu?
mengatakan kalimat disaat ia pun dirundung kekecawaan saat itu? Tapi seperti
itulah Ibu, Ibu tak pernah lemah di depan buah hatinya, ia adalah penopangku,
selamanya.
Bersabarlah bersamaku bunda, akan ada saat dimana putri bungsumu
juga akan dipinang pria terbaik pilihan Allah. Aku takkan pernah meragukan apa
yang telah ditakdirkan Allah, karena kau bukti takdir Allah yang dipilihkan
untukku sejak nyawa itu ditiupkan, kau memang yang terbaik bunda, selamanya
akan jadi yang terbaik. Sejak memilikimu, aku percaya bahwa Allah tak pernah
salah menakdirkan, takkan pernah.
Dan untuk satu rasa cemburu yang sering terselip kala kabar pernikahan mengetuk pintu orang lain, aku harusnya memahami hadirnya cemburu
itu adalah manusiawi. Sesiapakah wanita baik yang tak mengharapkan pernikahan? Bahkan
wanita bandel sekalipun juga mengharapkannya. Lalu mengapa harus mengutuk diri
ketika cemburu datang? Asal tidak memaki dan marah-marah tidak jelas padaNya,
semua wajar saja seharusnya. Bukankah malah cemburu itu pertanda kita masih
terus menghidupkan harapan kepada Allah walau berkali-kali pinangan berhembus
melewati tempat dimana kita berdiri. Karena hanya ada sepasang kaki yang tepat
yang akan berdiri di sisi kita kelak, sepasang kaki yang akan mengimbangi
langkah kita menuju ridhoNya. Yakinlah sepasang kaki itu akan menemui.
Mungkin
semua tidak akan sebising ini jika kita berhenti menuntut penyegeraan yang masih
ditangguhkan Allah, cukuplah menenangkan diri, agar derap langkah sepasang kaki
itu bisa terdengar jelas oleh hati.
Untukmu, satu jiwa yang telah ditautkan dengan jiwaku,
apakah kau sedang memandang langit malam ini?
jika iya, tetaplah memandangnya beberapa lama, karena
lewat langit kulukiskan cinta yang masih kujaga.
Aku merindukanmu, sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar