Jumat pukul satu lewat beberapa menit.
Seusai menunaikan shalat Dhuhur, aku mengabadikan foto ini.
Pemandangan dari lantai dua tempatku berkantor yang terlihat
biasa saja mungkin, tapi sesungguhnya menyiratkan banyak makna di tiap senti
detilnya. Bermakna bagi sebagian kecil orang saja, termasuk aku tentunya.
Apa yang menarik dari jepretan langit biru berawan ini? Yang
hanya dihiasi satu bangunan di sisi kanan foto. Disanakah makna tersimpan itu?
Mungkin iya. Tapi sebelum membahas tentang bangunan itu, ingin kusampaikan
lebih dulu bahwa langit yang tampak biasa-biasa saja ini, aku memujanya
setengah mati.
Dulu, dulu sekali aku jatuh cinta pada pemandangan seperti foto di atas. Sudah sejak lama memang, sejak kecil, sejak tahu bahwa hidup tak
semenyenangkan perkiraanku.
Aku suka
langit dengan sapuan biru lautnya. Aku suka cara mentari bersinar di siang
hari. Aku suka hembusan angin di musim panas. Aku juga suka awan. Benda langit
yang lebih mirip kembang gula tanpa pewarna yang senantiasa patuh pada halau
angin, anggun berarak seperti barisan angsa di sungai, juga sesekali nampak bak
hasil pahatan seni dengan berbagai lekukannya. Entah berbentuk hewan,
bunga-bungaan, ataupun wajah seseorang. Acapkali wajah seseorang yang amat
dirindui.
Panggung langit, Pencahayaan surya, tarian awan, iring-iring
angin. Aku suka menyaksikan setiap pertunjukan mereka dari bumi. Pertunjukan
yang mampu menyelaraskan ritme jantung dan kembang kempis paruku. Mengharmonikan
kerancuan aliran darah yang tak terarah dalam pembuluhku.
Itulah mengapa setiap kali aku merasa kacau terkungkung
kegamangan, ditusuk-tusuk perih, direngkuh duka, dan ditampar kenyataan pelik. Segala hal yang terlalu ambigu dan memuakkan dari hidup ini, aku selalu ingin
mendongakkan kepala ke atas, menyaksikan tokoh-tokoh yang bermain dalam teater
langit.
Takjub! Aku tersenyum samar.
Kalian tahu bagaimana para tokoh itu menghipnotisku? Hingga
kutelan kembali rutuk dan cacian yang sudah siap kumuntahkan?
Belaian angin. Benar hanya ia yang tulus berlaku lembut pada raga kala dunia dengan tega menampar bolak-balik tanpa alasan yang bisa diterima nalar dan dibijaki hati.
Terik sang surya. Elemen yang otomatis mengecilkan pupil saat cahayanya menembus bola mata manusia, bersamaan dengannya bising hati ikut mengecil, suara-suara protes hidup menyamar.
Bentangan langit. Luas nan tinggi. Sekuat tenaga digapai pun, diri takkan sanggup menapakinya. Manusia terlalu kerdil untuk itu.
Awan. Si mungil lamban yang pada masanya mampu mendatangkan badai dan memporak-porandakan isi bumi. Patut dipahami bahwa ia tak selamanya anggun dalam busana putih bersihnya, kadang hitam memolesnya menjadi awan jahat pengiring amarah semesta.
Adakah yang tahu bahwa segala isyarat mereka adalah cara
Tuhan berdialog dengan hambaNya? Terkhusus pada hambaNya yang sering melupa,
apalagi yang melampaui batas.
Apalah kita? Hanya seonggok daging belulang yang ditiupkan roh dengan
tabiat serakah dan penuntut. Yang begitu mudahnya mengumpat langit dengan
kalimat-kalimat pedas. Berteriak-teriak seolah langit tuli, seolah langit bisu
tak mampu menjawab tanya manusia, tanpa menyadari kebutaannya sendiri.
Kita hanya hamba yang tak tahu malu, Benar kan? Ah, kita
akui saja terang-terangan disini.
Tak sadar betapa kerdil dan tak berharganya kita di mata
semesta. Meraba langitpun mustahil, lalu apa yang amat kita bangga-banggakan
hingga kita terlalu pongah berjalan di atas bumi? Dan apa yang membuat kita tak
lelahnya meraung, meratapi keadaan yang telah digariskanNya? Juga apa yang
membuat kita begitu pandai menghitung musibah yang menimpa dan saat rezeki
menghujani justru tak pernah dikalkulasikan dengan benar. Dungu bukan? Apa yang mematirasakan jiwa dari nikmat-nikmatNya yang lalu lalang?
Jika
segala kenikmatan bumi dilengserkan, siapa yang pantas dihakimi? Bukankah
pembawa bencana itu bersumber dari ketidaksyukuran kita? Aku, kamu, mereka.
Kita. Kita hanya diumpamakan debu yang beterbangan jika dibandingkan dengan
ciptaan Tuhan lainnya. Debu, kau tahu debu? Kotor dan tak berarti apa-apa.
Insan-insan penyedih dan pengeluh, boleh mengembalikan ruhnya pada Tuhan. Itu lebih
baik daripada hidup namun seperti mayat yang berjalan-jalan di atas bumi. Dunia
bukan tempat bertamasya.
Semua, segalanya tidak sesulit itu terpahami jika saja kita melihat
tak sekedar melihat saja. Hewan pun melihat jika penglihatan kita ingin disama-samakan.
Namun, manusia telah diberi keistimewaan mampu melihat dengan cara yang lain,
bahkan bagi tuna netra sekalipun mampu melihat jika ia meyakini. Penglihatan
itu adalah Iman. Iman yang telah disematkan Tuhan ke dalam dada hambaNya. Yang
hanya betah tinggal pada hati yang pasrah akan takdirNya. Jadi wajar saja jika
para perutuk dan pencaci langit dijuluki si buta karena maki dan serapah itu
bukti redupnya iman yang dimiliki.
Jadi bagaimana dengan pemandangannya? Masihkah ia tak bermakna juga?
Simpan jawabanmu untuk dirimu sendiri saja.
Dan seperti janjiku tadi yang akan membahas tentang bangunan
itu, eh.. bukan membahas tapi mengenang lebih tepatnya. Mengenang masa demi
masa saat bangunan itu hanya serupa tanah rata awalnya. Perlahan tapi pasti,
dibubuhi bebatuan dan pasir juga serbuk pengokoh bernama semen, diolah
sedemikian rupa oleh para ahlinya hingga berdiri tegaklah bangunan itu sekarang.
Yang walaupun bau catnya yang masih baru tak tercium sampai kesini, aku tahu
persis bangunan itu baru saja selesai pengerjaannya.
Bukan sekedar bangunan, ia juga saksi. Saksi dari lembar-lembar
do’a yang kutorehkan seusai sholat. Sembari menengadah ke langit seperti
kebiasaanku, doa-doa kuluncurkan melalui bibir kelu dan hati bekuku. Do’a
adalah suratku untuk Tuhan yang selalu kuterbangkan dan kuharapi menembus awan
sampai ke langit. Dan diam-diam bangunan itu menyaksikan. Hari, minggu,
bulan-bulan berlalu hingga kusadari bangunan itu kini menjulang dengan
gagahnya sekaligus menyimpan memori suka duka yang kulewati selama ini dibalik jendela besar tempatku berdiri sekarang. Aku tertawa kecil, menerka-nerka telah berapa banyak do’aku yang ia
dengar selama ini. Apakah bangunan itu sempat larut dalam kepiluanku? Atau pernah
menertawakan kebodohan dan penyesalanku? Jika bangunan itu memiliki sepasang
mata, akankah ia menatapku nanar? Dan apa yang akan ia katakan padaku jika
memiliki mulut? Kurasa ia akan tetap diam. Karena tahu, surat-suratku untuk
Tuhan yang kini menumpuk di langit tak seorangpun berhak tahu dan membicarakannya.
Teruntuk..
Langit, matahari,
angin dan juga awan, apa jadinya aku tanpa pertunjukan kalian? Jika bukan
karena terpukau, sudah lama aku mendekam di bawah pusara, kekal dalam neraka.
Bangunan, kau tahu?
jika saja kemarin aku nekat melompat dari atas sini, mungkin aku takkan
melihatmu sedewasa dan segagah sekarang.
-Aku
Pukul dua kurang seperempat kuterbangkan satu surat lagi ke atas sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar