Langkah sepasang kaki dengan
sepatu berpoles pink-grey membabi buta menyusuri sisi lapangan
olahraga pagi ini. Matahari bahkan masih enggan membias cahaya, tapi sang
langkah tak sekalipun terhenti dari pelariannya. Di tengah pancaran mentari
yang masih ragu-ragu, ujung jilbab orange yang terjuntai di bahu, beterbangan di halau angin. Laju
langkah yang semakin menggila itu tak peduli akan halang dan sandung. Bahkan
jika pun harus terhempas ke tanah tak masalah, rasa pilu di dada kini lebih
sakit dari sekedar luka gores di kulit. Semakin kencang dan semakin kencang, berharap
pelarian ini menerbangkan tapak, hingga tak lagi menyentuh tanah.
Ya, sepasang derap
memburu itu milikku.
Aku sengaja bangun di
pagi buta dan ingin berlari sekencang-kencangnya seperti sekarang. Pergi dari
rasa sakit yang mengendap di dadaku, pergi dari kenyataan yang baru saja
kutemui.
Aku tak peduli ini sudah
putaran ke berapaku. Aku hanya terus berlari tanpa henti hingga ritme langkahku
kusadari kini tak menentu lagi. Sesekali melambat lalu kembali melaju dengan
cepatnya.
Bruukk!!!
Aku tersungkur.
Tersandung oleh kakiku sendiri. Untung, kedua tanganku gesit menahan tubuhku
yang rubuh sehingga wajahku tak ikut menyentuh aspal. Peluh yang membanjiriku
kini membasahi aspal jalan. Sekujur tubuhku gemetar, kesulitan menarik napas.
Aku berusaha bangkit, hendak kembali berlari namun tubuhku tak mampu lagi kugerakkan
sendiri. Beberapa orang menyaksikan atraksiku barusan terdengar cekikikan, dua
tiga diantaranya memapahku ke tepi jalan. Luka gores kini tergambar di kedua
telapak tangan juga di lutut kiri yang terlihat jelas dari lubang sobek celanaku.
Kujatuhkan tubuhku di
atas tanah beralas rumput, terlentang menghadap langit. Mataku menyipit silau.
Mentari telah bersinar galak rupanya. Tersadar, artinya aku sudah cukup lama
disini, wajar saja tenagaku seperti berada di titik nol. Habis sama sekali. Air
yang kubawa pun telah ludes kuteguk. Napasku masih tersengal-sengal saat kunikmati
awan yang berarak di atasku, perlahan cara itu berhasil menenangkan degupan
jantung serta napasku yang sedari tadi memburu dengan buasnya.
Tapi tidak dengan
gemuruh di dadaku. Gemuruh itu tidak benar-benar lenyap. Aku tahu, sekalipun
berlari menembus awan, semuanya akan tetap seperti ini. Tak ada yang bisa mengubahnya,
ia ataupun aku. Kembali mengingatnya, membuat memoriku berputar kembali ke
pertemuan pertama kami. Pertemuan yang membuatku ingin pergi sejauh-jauhnya
sekarang.
***
Awal januari adalah saat
pertama aku melihat lelaki berkacamata minus itu. Fiersa duduk di bangku taman
kampus, tepat di sebelahku. Beberapa kali aku melirik ke arahnya, bukan
tertarik pada sosoknya, namun pada almamater bersulamkan “Rumah Pena” yang ia kenakan.
Rumah Pena adalah organisasi kepenulisan di kampus kami, yang sudah sejak lama
aku tertarik bergabung di dalamnya. Iseng, kusapa ia dan menanyakan bagaimana
cara untuk bergabung. Beruntung, Fiersa adalah orang yang sangat ramah,
membuatku nyaman berlama-lama mengorek informasi padanya. Percakapan tentang
topik yang sama-sama kami sukai pun mengalir panjang lebar sore itu.
Hingga akhirnya aku berhasil
menjadi salah satu bagian dari Rumah Pena berkat bantuannya. Kami yang telah
bertukar kontak sejak perkenalan pertama, membuatku rutin menghubunginya,
sekedar ingin memastikan ia berada di sekretariat Rumah Pena atau tidak.
Maklum, karena merasa paling baru dan belum begitu akrab dengan anggota lain,
aku sedikit kikuk jika harus datang tanpa Fiersa. Mungkin karena ia pandai
membuat seseorang merasa dekat dengannya, kekakuanku baru bisa mencair jika ia
ada. Disana, Fiersa membantuku banyak hal, ia senantiasa menjawab segala
ketidaktahuanku dan membuatku cepat berbaur dengan yang lain. Karena Fiersa,
aku akhirnya betah berada di tempat itu.
Sebagian waktuku pun
kini tersita di ruangan kecil tempat kami menyusun agenda sekaligus berbagi
ilmu. Disana, selain mengasah kemampuan menulisku, aku juga kerapkali
berdiskusi dengan Fiersa. Ia lebih sering bercerita dibanding aku, aku sendiri
lebih banyak mendengarkan.
Dari satu topik
pembahasan, kami akhirnya banting setir ke topik lainnya. Ia mulai berbagi
tentang kehidupan pribadinya, termasuk keluarganya, sempat bingung mengapa aku
harus mendengar sampai ke bagian itu. Mungkin baginya aku sosok yang bisa ia
percayai, Tebakku.
Segala perbincangan yang
kami lewati membuatku semakin tahu banyak tentangnya.
Fiersa, sang mahasiswa yang
sedang serius menyelami ilmu sastra bahasa semester enamnya, membuatnya mudah
menjajaki tangga mimpi menjadi seorang Penulis. Menulis adalah huruf hidupnya. Salut,
dua judul buku telah berhasil ia lahirkan. Dua-duanya pun kini menjadi milikku
sebagai hadiah perkenalan, katanya.
Secara fisik, Fiersa
bukan seleraku. Tak ada sesuatu yang membuatku tertarik terkecuali siluet indah
di balik bingkai yang menghias matanya. Kacamata itu sudah terlalu identik pada
dirinya. Kata orang, tanpa benda itu, ia belum bisa di sebut Fiersa. Dan entah
hanya aku yang mengakuinya, dibalik kaca tebal itu, sepasang pupil mata bulat
nan pekat tersimpan bak siluet purnama, aku begitu memuja pemandangan indah
dari sorotan matanya.
Fiersa membawaku
berpetualang dalam bentang wawasan yang ia miliki. Aku juga berdecak kagum akan
bakatnya merajut kata menjadi syair surga. Sedangkan aku, dua tahun lamanya aku
hanya sibuk menghapalkan jenis obat, virus dan anatomi, membiarkan mimpi ku
terkubur begitu saja. Namun kini Fiersa menggali lalu menerbangkan mimpi yang telah
kukubur. Ia yakin, kelak namaku akan tertoreh di antara barisan penulis ternama
di dunia. Keyakinan Fiersa, aku berusaha mempercayai itu.
Aku tak ingat sejak
kapan kami mulai terbiasa saling mengabari. Fiersa tak pernah absen
mengingatkanku makan dan sembahyang, selalu mencariku untuk bercerita hal
penting dan tak pentingnya. Begitupun aku.
Fiersa muncul di depan
kelasku hari ini sambil menenteng kantongan berisi roti, susu, serta minuman
isotonik lainnya dan menyodorkannya padaku. Aku yang memang sempat mengatakan
sedang tidak fit, tak menyangka ia akan seserius ini menanggapi keluhanku. Tak
hanya itu, ia malah melepas jaket yang ia kenakan lalu memberikannya padaku. Aku
mengutuknya karena telah dibuat salah tingkah. Perasaan hangat yang menjalar dan
serangkaian perhatiannya membuatku berpikir semalaman. Aku tak boleh hanyut
dalam kedekatan yang tak terarah ini. Bagaimana jika Fiersa sampai berpikir aku
bergabung di Rumah Pena hanya alibi saja untuk mendekatinya. Tidak, tidak sama
sekali.
Kuputuskan untuk
mengambil jarak. Sekalipun seperti kehilangan sesuatu, kukuh tak kubalas semua
pesannya. Aku juga tak rutin lagi menjajakkan kaki di sekretariat sementara
waktu. Fiersa akhirnya menyadari perubahan sikapku dan mempertanyakannya.
Kupilih bungkam. Tak semua hal harus dijelaskan saat itu juga.
Aku hanya terbaring di
kamar karena nyeri perut yang menyiksaku sejak dua hari lalu. Kuraih ponselku yang
berdenting. Jemariku gemetar seketika saat membaca pesan bahwa keluarga Fiersa
baru saja meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas yang parah. Masih dalam
ketidakpercayaan sampai akhirnya berita kecelakaan itu tayang di televisi siang
itu juga. Dengan alasan kondisiku masih lemah, ibuku bersikeras melarangku
keluar rumah untuk melayat. Aku kembali meringkuk dalam kamar, sontak ingatanku
berputar, teringat segala hal yang pernah Fiersa ceritakan padaku tentang
keluarga kecilnya. Si penggali mimpiku, langitnya kini runtuh. Aku tahu yang
bisa ia lakukan hanya menangis sekeras-kerasnya, meratapi kepergian seluruh
keluarganya. Keinginan untuk segera menghubunginya begitu besar memenuhi dadaku. Betapa aku ingin di sampingnya. Kuseka bulir
yang menetes di pipiku, tak sadar aku pun terisak.
Tiga hari kemudian, saat
kondisiku sudah mulai pulih, selepas jam kuliah aku datang ke sekretariat yang
belakangan jarang kukunjungi. Disana, berita duka keluarga Fiersa menjadi topik
utama perbincangan. Apakah ia baik-baik saja? Masih di sesaki kekhawatiran, aku
memilih pulang, berencana mendatangi rumah Fiersa. Baru saja aku beranjak dari
kursi, semuanya serentak menoleh, terkejut melihat kedatangan Fiersa, tak
terkecuali aku. Yang lain segera menyambutnya, mengucapkan bela sungkawa. Aku
pun berdiri mengikuti. Belum sempat aku membuka mulut, Fiersa membuang muka
dan berlalu. Aku hanya bisa terpaku. Tak ingin mengira-ngira bahwa ia kini marah
padaku. Kuanggap itu sebatas ekspresi kesedihan saja.
Seminggu berlalu, aku
dan Fiersa belum juga saling menegur. Dari sana, aku sadar ia benar marah
padaku. Belakangan ia enggan pulang ke rumah dan memilih menginap di sekretariat.
Aku mengerti, ia belum siap dilahap kesunyian rumahnya, setidaknya disini ia
masih ditemani anak-anak lain yang jarang pulang.
Sayup kudengar Fiersa terisak.
Duka yang memeluknya, airmata yang kini menjadi baju dan napasnya, apapun itu
benar-benar melukaiku. Aku tak bisa menahan diri lagi. Fiersa terkesiap
melihatku berdiri disamping mejanya. Ia beranjak dari kursinya, menghindari
tatapanku. Aku tak peduli lagi dengan sikap dinginnya. Aku mencengkeram
lengannya, kukatakan bahwa kami perlu bicara. Namun ia melonggarkan cengkeramanku.
Aku terdiam melepaskannya.
“Mungkin kamu masih
pengen sendiri. Aku enggak akan ganggu kamu, aku bisa mengerti.” Ujarku.
“Sekalipun aku enggak
pengen sendiri, aku tetap sendirian juga. Aku enggak punya siapa-siapa lagi
sekarang.” Kalimatnya mengoyakku. Benar, dia sebatangkara kini, keluarganya
baru saja pergi meninggalkannya seorang diri di dunia. Ayah, ibu, dan
satu-satunya adik perempuannya telah tiada.
Mata sembab berlingkar
hitam itu kini menatapku. Kerapuhan yang takkan bisa ia samarkan amat
menyakitiku. Fiersa berlalu melewatiku, sesaat setelah aku meminta maaf telah menjauhinya tanpa alasan.
Seberes merapikan isi
ruangan, aku dan yang lain bersiap pulang. Kami kelelahan hari ini. Lomba
menulis karya fiksi yang kami adakan baru usai pukul sembilan tadi. Satu
persatu sudah menghilang bersama kendaraannya masing-masing. Hanya Fiersa yang
masih berbaring di lantai berbantalkan lengannya sendiri. Sudah hampir sebulan
ia belum juga ingin pulang. Selain kuliah, ia kini sibuk menjadi pengajar
sementara di sebuah lembaga kursus sekaligus mengurus kedai kopi milik ia dan
sepupu perempuannya. "Kedai kopi itu sudah dirintis sejak setahun lalu." Jelasnya.
Belakangan, Fiersa memang sudah sedikit melunak padaku. Fiersa yang dulunya lebih sering bercerita, kini aku yang berceloteh lebih banyak dari biasanya dan ia hanya mendengarkan saja atau sesekali menjawabku singkat. Sekali lagi, aku tak peduli perubahannya. Kuluangkan waktu lebih dari kemarin untuk menemaninya. Entah mengajaknya mengobrol, membawakan makan atau bernyanyi.
Belakangan, Fiersa memang sudah sedikit melunak padaku. Fiersa yang dulunya lebih sering bercerita, kini aku yang berceloteh lebih banyak dari biasanya dan ia hanya mendengarkan saja atau sesekali menjawabku singkat. Sekali lagi, aku tak peduli perubahannya. Kuluangkan waktu lebih dari kemarin untuk menemaninya. Entah mengajaknya mengobrol, membawakan makan atau bernyanyi.
Berkali-kali
kutolak, kujelaskan bahwa suara kodok masih jauh lebih merdu dariku. Namun Fiersa tetap saja ngotot.
“Enggak mau nyanyi dulu
sebelum pulang, Nham?”
Aku yang sudah berdiri
di ambang pintu berjalan masuk lagi. “Kukira kamu udah tidur tadi.”
“Aku enggak bisa tidur.
Kamu nyanyi dulu sini.” Panggilnya.
Fiersa sudah dalam
posisi duduknya, bersandar di dinding yang sama tepat sebelahku. Aku belum
menyuarakan apapun. Detak jarum jam menjadi isi dari jeda yang cukup lama di
antara kami.
“Aku rindu keluargaku.
Aku rindu pulang dan melihat mereka ada disana menyambut kepulanganku.” Suara
Fiersa bergetar di ujung kalimatnya.
“Ujian ini terlalu berat
buat aku.” Lanjutnya. Tak sepatahpun keluar dari mulutku, hanya jemari yang mengelus
lembut punggungnya yang terguncang karena isak.
“Sekarang aku udah gak
punya siapa-siapa lagi, aku sendirian. Aku butuh kamu, cuma kamu, cukup
kamu.” Aku terhenyak, otakku sibuk mencerna
makna dari kalimatnya.
Sejak kekhawatiran itu
tak mampu kuatasi lagi, aku sudah menghentikan langkahku untuk pergi. Aku tak pernah
benar-benar ingin pergi darinya.
“Aku minta kamu jangan
kemana-mana, jangan tinggalin aku lagi.”
"Seperti bintang-bintang yang berpendar, aku ingin jadi satu keping saja di antaranya, tapi yang paling berkilau agar bisa menyinari langit kelammu. Tak berharap banyak, hanya tak ingin membiarkan gelap membelenggumu."
“Sekalipun matahari
enggak nemuin kamu lagi, masih ada aku yang bisa kamu jadiin cahaya.” Ujarku.
Tak ada senyum di bibirnya, hanya tertunduk pilu, jemarinya erat menggenggamku.
***
Aku meletakkan puding yang
kubawa di sebelah kotak makanan di atas meja Fiersa.
Beberapa menit kemudian
baru sosok itu muncul bersama senyumnya. Licik, kini senyum itu piawai
meledakkan dinamit dalam jantungku. Ia kesal karena aku nekat membawakan puding
pesanannya padahal semalaman aku disiksa nyeri perut. Mungkin ia tak tahu, betapa
senang aku melihatnya mengomel seperti itu.
Sempat bertanya tentang sekotak
makanan itu, ia bilang itu dari Alika, sepupu sekaligus rekan bisnis kedai
kopinya. Kudengar bisnisnya kini sudah ramai pengunjung, dan malam ini untuk
merayakannya, ia mengadakan syukuran di kedai itu. Sedikit kecewa ia tak
mengajakku kesana.
Fiersa buru-buru pamit,
ia bilang jam mengajarnya sudah dimulai setengah jam lalu. Sebelum pergi ia
mengecup keningku. Semburat merah jambu merona dalam dadaku. Salahkah aku mulai mempertanyakan
kesiapaanku? Semua ini apa artinya, Fiersa?
***
Fiersa terlalu gila kerja,
Fiersa yang kurang tidur, Fiersa yang lupa bahwa ia juga manusia yang butuh
istirahat. Sedih, kulihat ia terbaring demam. Sesekali mengigau memanggil ibunya. Kuusap pelan
kepalanya, berharap sedikit membuatnya lebih baik.
Ia menolak minum obat.
Katanya ia tak suka obat. “Kamu duduk di
sini aja, jangan kemana-mana.” Itu saja pintanya.
"Sa, kalau misalnya
kamu udah bisa balik kerumah kamu lagi, bisa ketawa lagi, atau seenggaknya kamu
udah dapet bahu-bahu lain. Kalau aku udah enggak ada kabar setelah itu, kamu
nggak pa-pa kan?" Tanyaku dengan sedikit terbata.
Aku menunggu cukup lama
sampai ia bersuara. Aku tahu ia belum terlelap.
"Kalau pada
akhirnya kamu pengen pergi, pergi aja sekarang. Enggak usah nunggu aku bisa
lakuin itu semua. Mumpung aku baru aja kehilangan keluarga, jadi kalau kamu
pengen pergi, pergi aja sekalian." Nadanya terdengar lirih.
"Enggak gitu maksud
aku. Aku cuma enggak punya alasan aja buat tetep sama kamu terus." Pelupuk
mataku mulai terasa penuh. Sekeras mungkin menahan hati yang ingin teriak. Tangisku
akan tumpah jika kubiarkan.
"Aku minta kamu jangan
pernah ninggalin aku, itu bisa kan jadi alasan kamu. Aku maunya cuma kamu,
bukan yang lain, Nham.”
Harusnya kini perasaanku
mengudara di atas langit dan debaranku berdentum menyanyikan lagu cinta. Harusnya
aku lega setelah mendengar ucapannya tadi, ya jika kebenaran itu tak menyapaku,
harusnya aku amat bahagia sekarang.
***
Aku membuka mata dan
mendapati gadis itu masih disana, terlelap sambil duduk memeluk lutut. Aku
melepas selimutku dan mendekapkan padanya. Bahu mungilnya, disanalah aku
senantiasa meratap. Bibir tipisnya yang terkatup rapat, jika ia tersungging
sedikit saja, apalagi sampai menggelak tawa, melegakan perihku di setiap pertunjukannya.
Nhamy, gadis ini seperti
rumah baruku. Ketika aku dirundung ketakutan melawan kesendirian saat pulang ke
rumah, gadis inilah yang menjadi arah langkah baruku. Ia adalah tempatku pulang.
Sejak pertama ia menyapaku, kami bak kawan lama yang dipertemukan kembali.
Kebaikan Nhamy seperti oasis di tengah savana kering kehidupanku. Ia
berulangkali bilang betapa beruntungnya bisa mengenalku, padahal sebenarnya aku
lah si manusia cacat yang begitu mensyukuri kehadirannya.
Sudah terlalu sering ia
menghabiskan hari bersamaku, sekalipun ia samarkan, aku tahu ada yang salah
dengan dirinya. Minggu pagi selepas ia berolahraga, Nhamy menemuiku. Matanya
terlalu sembab untuk dikatakan tidak apa-apa. Ia terlalu lihai menyembunyikan
sesuatu padaku. Ditambah lagi, perkataannya sebelum aku terlelap tadi mencemaskanku.
Aku tak bisa membayangkan jika gadis itu pergi lagi.
Hanya dengan menggenggam
jemarinya, kuisyaratkan betapa aku takut kehilangan dirinya.
Aku akhirnya kembali ke
rumah lamaku. Rumah dengan sejuta kenangan yang menyayat. Aku tak punya rumah
lain lagi selain disini.
Seperti de javu, ini persis ketika Nhamy pertama kali menjauhiku. Tak membalas pesan, tak datang lagi ke Rumah Pena, bahkan kini ia juga tak masuk kuliah. Nhamy menghilang, ia pergi lagi dariku. Mengapa ia begitu picik. Ia sudah berjanji takkan kemana-mana. Janji itu palsu. Aku mungkin bodoh telah mempercayainya. Gadis itu pernah bilang bahwa aku mampu mengubah pandangan hidupnya. Benar, tapi tidak dengan hatinya. Aku tak mampu membuat hatinya menetap.
Seperti de javu, ini persis ketika Nhamy pertama kali menjauhiku. Tak membalas pesan, tak datang lagi ke Rumah Pena, bahkan kini ia juga tak masuk kuliah. Nhamy menghilang, ia pergi lagi dariku. Mengapa ia begitu picik. Ia sudah berjanji takkan kemana-mana. Janji itu palsu. Aku mungkin bodoh telah mempercayainya. Gadis itu pernah bilang bahwa aku mampu mengubah pandangan hidupnya. Benar, tapi tidak dengan hatinya. Aku tak mampu membuat hatinya menetap.
Aku melangkah mantap
menuju gerbang rumah Nhamy. Rumah itu tampak sangat sunyi. Seorang wanita paruh
baya yang ternyata bibinya menghampiriku.
Seperti tersambar petir,
ia mengatakan bahwa sejak seminggu lalu Nhamy berangkat ke Jakarta untuk
menjalani pengobatan. Hepatomegali, diidap gadis itu tanpa kuketahui. Acapkali
ia memang meringis karena nyeri di perutnya. Kucaci maki diriku sendiri,
mengapa selama ini tak menyadari itu padahal ia senantiasa disisiku.
Otakku berputar cepat.
Aku melajukan kendaraan menuju sekretariat. Setibaku, tangan-tanganku kalap
membongkar laci meja yang sering di tempati Nhamy.
Ia sakit, ia tak pernah
benar-benar ingin pergi dariku. Terakhir kali aku sepanik ini saat kematian
keluargaku. Aku sangat takut jika harus kehilangan gadis itu. Aku harus tahu,
rahasia apalagi yang tak kuketahui darinya. Ia terlalu menyimpan banyak, banyak
sekali. Tanganku akhirnya menjinak pada satu lembar kertas yang kini ku genggam.
Aku tertikam membaca setiap kata per katanya.
Tak sekedar bintang, jika bisa kuingin jadi nebula untukmu
Kumpulan awan yang melahirkan bintang-bintang barumu
Yang mampu menghidupkan kembali bintang matimu
Memecah cahaya dalam pekatnya angkasamu
Harus berapakali kuingatkan, kau jangan menangis lagi
Segala hal yang membuatmu lirih menularkan perih
Abrasi yang mengikismu, apapun itu biarkan saja
Berjalanlah dalam gelap, aku takkan melepaskan genggam
Harus berapa kali kukatakan, aku takkan kemana-mana
Memangnya aku bisa
kemana? Kau menjarah hatiku tanpa kau sadari
Jelas ini bukan salahmu,
juga salah wanita dalam pelukmu
Jika kau dan Alika
saling mencintai, aku bisa apa?
Aku pun tidak lebih baik
jika memilih pergi
Malah akan lebih terluka
mendengarmu terisak sendiri
Jadi sekali lagi, aku
bisa apa?
Kukatakan pun kamu bisa
apa?
Kau tak harus mengerti rasanya jadi aku
Fakta bahwa aku harus membunuh rasa ini
Hari ini sekali lagi
Dan lebih keras lagi
***
Fiersa terlalu buru-buru
sampai lupa membawa laptopnya. Aku pun memberitahunya melalui pesan singkat.
Terlalu iseng, kunyalakan dan ku utak-atik isi laptop itu sambil menyendok puding yang
tak dihabiskan Fiersa. Mungkin ini ganjaran dari kelancanganku. Satu folder
khusus berhasil membelah-belah dadaku.
Alika, yang diakui
Fiersa adalah saudara sepupunya nyatanya tak sekedar saudara. Mereka sepasang
kekasih.
Rekaman kebersamaan juga
usaha kedai kopi mereka mempertegas seberapa serius komitmen terjalin. Kesadaran
baru menyergapku sekarang. Kesadaran akan asa yang teruntai diam-diam, kini patah
dan teracuni dengan apa yang baru saja kulihat. Untuk cemburu pun, aku
sama sekali tak berhak.
Fiersa, apakah yang kita punya selama ini? Tidak ada.
Fiersa, apakah yang kita punya selama ini? Tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar