Flash
Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di
Facebook dan Twitter @nulisbuku
“Kau sudah tidur, Ra?”Suara dari seberang
sana membuatku mengerang dari kasur
Aku melirik jam, pukul 02:15 dini hari. Waktu-waktu dimana kau sering membangunkanku melalui dering telepon. Waktu-waktu dimana aku harus beristirahat sedang kau baru saja membuka pejam dari tidur lelapmu.
“Aku belum tidur.”Dustaku setiap malam.
“Aku tahu kau pasti sudah sangat mengantuk.
Maaf aku harus mengganggumu setiap malam. Senggangku hanya sekarang. Maaf karena pekerjaan, waktuku sangat minim untukmu.”
“Aku mengerti sayang.” Aku selalu mencoba mengerti terjalnya hubungan kita karena bentangan jarak. Karena pekerjaan, aku harus meninggalkan kotamu, keluargamu, juga aku, kekasihmu.
“Ra, aku ingin memberitahumu satu hal.
Kuharap kamu bisa mengerti aku lagi kali ini.”Ucapmu.
“Katakan apa itu.”
“Aku akan pulang. Minggu depan aku akan
pulang.”
Hatiku sorak sorai mendengar kalimatmu. “Benarkah? Aku senang mendengarnya. Kau tahu,
aku sangat merindukanmu, sungguh. Aku tahu kau tak lagi mampu membendung rindu
padaku kan?”
Aku tertawa, namun di seberang sana terasa dingin, membuatku sadar bahwa kau sedang menyimpan kabar yang cukup serius.
“Aku akan pulang, tapi aku tak bisa menemuimu.”Lirih
kudengar suaramu di ujung sana.
“Apa maksudmu?”
“Maaf, aku baru memberitahumu sekarang, Ra.
Kurasa aku dan kamu sudah tidak bisamenjadi sepasang kekasih lagi.”
“Arya, apa maksudmu? Kau mau putus? Ada apa?
Apa aku punya salah padamu? Katakan?!!” Suaraku meninggi. Aku dibalut kekalutan
seketika.
“Aku akan pulang dan segera menikah. Kita tak bisa
meneruskan ini lagi.”
“Arya..”Panggilku perih. Bulir airmata meluncur deras membasahi pipiku.
“Bisa kukatakan satu hal lagi?”
“Cukup Arya. Kau akan memberitahuku siapa
calon istrimu? Tidak! Tidak perlu!”Sergahku gusar.
“Kau.”Ujarmu singkat.
“Aku akan menikahimu, Andira. Aku tak bisa
menemuimu dulu sebelum keluargaku datang ke rumahmu untuk meminang. Maaf, aku
tak bisa menjadikanmu kekasih lagi, karena kau harus menjadi istriku selamanya.”
Aku sesengukan. Tak mampu membendung tangis bahagia. Kelakuan Arya benar-benar hampir menghentikan detak jantungku.
“Andira, bersediakah kau? Aku takkan membiarkanmu lagi tersiksa merindukanku.”
Aku tahu, ketabahanku merawat rindu akhirnya berbuah indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar