"Seorang wartawan dan penulis buku dari Inggris, bernama Matthew Solo, selama sebulan ia mengamati aktivitas para pengemis di Bangkok dan Kamboja.
Matthew, bersama temannya yang berasal dari Rumania, mendapat info, jika para pengemis itu bagian dari bisnis organisasi kejahatan."
Aku baru saja membaca salah satu artikel di Vemale.com yang membuatku sempat terhenyak. Tentang mengapa bayi-bayi yang digendong para pengemis dijalan seringkali terlihat tidur sepanjang hari. Pemandangan seperti itu pastinya tak asing lagi kan? Pemandangan yang meluruhkan iba dan meringankan tangan kita untuk memberikan beberapa receh. Tanpa kita ketahui nasib malaikat-malaikat kecil di balik selimut kumal yang membalutnya.
"Bayi-bayi malang,
dengan tubuh masih rentan itu, tidak mampu mengatasi bahaya yang dihasilkan
dari pemberian minuman dan obat-obatan terlarang. Tak jarang, banyak dari
bayi-bayi itu yang meninggal, selama mereka dibawa mengemis."
Naudzubillah..
Lihatlah betapa tak bermoralnya tindakan para pengemis
itu. Miris mengetahui bayi yang dalam lelapnya ternyata hasil pengeksploitasian
tangan-tangan tak bertanggung jawab dari fakir hina itu.
Ada berapa banyak nyawa yang telah dilenyapkan setiap
harinya demi rupiah yang tak seberapa?
Ada berapa banyak racun yang mengendap di tubuh tak
berdaya si kecil yang sedetik kemudian membuatnya meregang kaku dalam bungkam?
Ada berapa banyak manusia bernaluri lebih rendah dari
binatang yang mengorbankan satu demi satu kehidupan untuk mempertahankan
kehidupannya sendiri?
Ada berapa banyak kaki yang singgah menyelipkan bantuan,
yang tertipu potret memilukan dari lintah kasta terpinggir?
Berapa banyak? Ada berapa banyak lagi?
Aku bukan penghakim disini, hanya seorang rakyat kerdil yang
menyayangkan kenyataan yang terjadi di salah satu sisi kehidupan yang sarat
akan kemiskinan. Yang membuat mereka semakin fakir dari segala apa yang ada di
dunia dan di akhirat akibat jalan yang dipilihnya dalam mengais rezeki.
Tak tahu kepada siapa makianku lebih pantas ditujukan.
Mungkin diri sendiri pun menyesal, beberapa kali mengempati ibu-ibu pengemis
diseputaran jalan urip sumoharjo di kotaku. Dengan dalih yang sama seperti yang
dikatakan artikel tersebut, mereka melintasi jalan raya di tengah sengat
matahari sambil menggendong bayi-bayi malang. Entah bayi itu berasal dari
rahimnya sendiri atau dari rahim orang lain. Bisa kubayangkan jika salah satu dari bayi tersebut adalah
bagian dari keluarga terdekatku atau kerabat lainnya, ataupun dari orang yang
tak kukenal sama sekali, bagaimana pilu hati orang tua mereka mengetahui buah
hatinya diculik untuk dijadikan umpan demi mengenyangkan perut para pelaku. Membayangkan itu hanya bisa membuatku menghela napas
panjang, berharap mereka lekas tersadar dari kebiasaan merobek harga diri
sendiri.
Aku yang tak berasal dari kalangan berduit, sedikit banyak memahami kepelikan yang dirasa oleh para pengemis. Tapi bukan berarti menghalalkan
segala cara adalah satu-satunya jalan. Bukankah Allah sudah menjanjikan rezeki
yang dihamparkan di atas bumiNya? Bukankah Allah membenci perbuatan dari
meminta-minta apalagi sampai melayangkan nyawa sesama? Kita tak harus mengoyak
kemelaratan menjadi lebih hancur dengan mengemis. Pun kita tak harus menodai
kedermawanan kita dengan mengiba kepada kumpulan manusia berotak penipu dan pemalas. Kita bisa tengok mereka, para
pedagang asongan dan pedagang lain di emperan jalan. Mereka memang si miskin tapi masih memiliki
usaha menjual manfaat bagi orang lain demi menjaga kesucian tangan mereka dari
meminta apalagi mencuri. Mereka bahkan masih jauh lebih terhomat dibanding si kaya
berdasi penimbun harta rakyat.
Dalam setiap keputusan, masing-masing individu pasti memiliki alasan tersendiri dibaliknya, termasuk keputusan para pembunuh bertopeng itu sekalipun. Kemiskinan dan kebobrokan moral mungkinlah alasan mendasar yang menganak-pinakkan tindak kriminalitas yang terjadi selama ini. Namun apapun alasan yang mereka punyai sama sekali tak mengubah apa yang sudah ditetapkan Allah, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sekeji-kejinya perbuatan.
Kita semua selalu dihadapkan pada pilihan sebelum memutuskan, hanya terkadang
kita sendirilah yang berpura-pura buta, bertingkah seolah semuanya terjadi
di luar kendali dan kemauan kita. Buktinya masih ada segelintir dari mereka
yang beroleh rezeki dari jalan yang baik-baik saja, meskipun tak seberapa, kita
tak pernah tahu sebesar apa keberkahan yang mereka dapat dari Allah.
Tak ada manusia yang tak berkemampuan. Kita semua lahir
di dunia karena kepercayaan Allah bahwa kita mampu. Karena itulah aku tak suka
dengan sebutan orang tidak mampu yang
di tujukan kepada sebagian golongan. Mereka juga bekerja seperti kita, berarti mereka
mampu 'kan? Tak ada bedanya kita dengan mereka, yang pantas menilai perbedaan
hanya Dia bukan sesama makhluk.
Kepada kalian terutama diriku sendiri, kepada kita yang
tak harus menempuh jalan sekeras saudara yang lain dalam mencari makan, ambillah
jeda sebelum berkeinginan melontarkan keluh dan kesulitan hidup, gunakan jeda
itu sebagai cermin yang di hadapkan pada diri kita masing-masing. Lihat dan
cermatilah keadaan diri kita yang masih jauh lebih sehat, lebih bersih, lebih
rapi, lebih gemuk, lebih wangi, lebih terurus dan lebih beruntung dibanding
saudara kita yang terasing di bawah kolong jembatan.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar