Anggap saja aku sahabat yang sedang mengingatmu kembali.
Anggap saja aku orang asing jika seperti ini adanya kita sekarang. Anggap saja
kita tak pernah saling mengenal sebelumnya jika bisu kini menjadi pilihan kita.
Anggap saja.
Anggap saja aku sedang bercanda saat kuakui aku
merindukanmu. Bisakah kau anggap aku sedang berlelucon saja? Jika kukatakan aku menunggu kabarmu, juga bertanya-tanya apakah kau baik-baik saja, anggap aku
hanya sedang berbasa-basi. Saat aku memandang langit di atas sana, itu pertanda
aku sedang menyapamu, seperti malam ini, tapi kau anggap saja aku sedang iseng.
Pelupukku basah, ada linangan yang bergantian jatuh, ada
sesak yang sedikit-sedikit menyeruak perih, aku tahu ini akibat dari sebuah
keputusan. Tapi aku baik-baik saja, anggaplah seperti itu.
Pendar gemintang, betapa aku sulit melepas pandangan
darinya. Sama sulitnya aku mengabaikanmu. Dan kau, anggap saja semua begitu
mudah untuk kulupakan.
Kau tahu, hidupku kini lebih ramai dibanding kemarin saat kita masih rutin berbalas tanya, selepas bisu kita, aku kesana kemari mencari bising, membunuh rindu dengan berbagai rutinitas yang kulahap habis-habisan. Hingga aku tak punya waktu menoleh kearahmu barang sedetikpun. Anggap saja kini aku berhasil melakukannya.
Kau tahu, hidupku kini lebih ramai dibanding kemarin saat kita masih rutin berbalas tanya, selepas bisu kita, aku kesana kemari mencari bising, membunuh rindu dengan berbagai rutinitas yang kulahap habis-habisan. Hingga aku tak punya waktu menoleh kearahmu barang sedetikpun. Anggap saja kini aku berhasil melakukannya.
Mengagumkan sekali menyaksikan ego sepasang manusia
bertarung dengan tangguhnya. Saling membekap mulut, mencekik kerongkongan dari
ribuan kalimat yang ingin terlontar. Sapa, acapkali terkesan sangat murahan
untuk dilakukan sebagian orang. Akupun tak tahu mengapa hal-hal miris harus
menjadi pilihan seseorang untuk terlihat berharga diri tinggi. Rela menjadi pemendam
walaupun ringkih hati tak bisa disamarkan. Apa kau sepaham denganku bahwa
kita pun adalah petarung? Atau hanya aku saja sedang kau ada di kursi penonton,
diam-diam asyik menertawakanku? Kebetulan, aku rasa aku memang hanya badut
bagimu, sejak pertama aku sadar, kau meremehkanku dengan keramahanmu. Lewat
kedua matamu yang amat kupuja, aku tahu kau menyimpan banyak rahasia disana dan
kau memanfaatkan senyummu untuk mengalihkanku darinya. Serta merta aku
melepaskan perasaan yang selama ini kujerat di palungku yang paling dalam. Rasa
itu terbang bebas, enggan kau gapai. Rasa itu lalu jatuh berserakan dan kau tak
jua sudi memungutnya. Terakhir kau mengaku tak tahu apa-apa soal itu. Bolehkah aku
tertawa sekarang sambil mengucapkan kalimat, “Kau telah menipuku dengan cara
yang indah.”? Benar, anggap saja ini indah.
Tanpa sempat menanyakan mengapa
kau tega melakukan ini versi dramaku, aku bersyukur tak diberi kesempatan oleh
Tuhan untuk menciderai harga diri yang harusnya kujaga, begitu kata logikaku. Anggap
saja aku memang selalu patuh pada logika.
Hembusan angin menyeka bulirku. Jemariku bahkan tak peduli
lagi akan pipi yang basah. Semenjak ia tak mampu menggerus tumpah ruah
airmatamu lagi, ia juga abai akan tangisku sendiri. Inikah wujud protes sang hati? Tampak semenyedihkan ini anggap hanya akting belaka.
Apakah aku sempat terlintas di pikiranmu baru-baru ini? Atau
mungkin kemarin? Dua hari yang lalu, seminggu lalu bagaimana? Samasekali tidak?
Tak masalah. Aku tak berharap untuk diingat-ingat lagi. Anggap saja tak ada
hujan sekalipun tanah banjir kecewa hingga aroma petrichor terbangun dan
menyakiti penciuman para perindu.
Lalu tentang do’a. Aku tak pernah tak memunajatkan kebaikan
untuk orang-orang yang kusayangi setiap waktunya. Kau diantara nama-nama itu? Kau
bukan siapa-siapaku jadi mana mungkin. Anggap saja tak mungkin.
Tanpa kuminta untuk membiarkan bisu kita selamanya, kaupun
akan membiarkannya bukan? Setiap kali ada rindu meranggas harus segera kita pangkas, begitu kan? Esok pagi, akan kupastikan rindu ini redup bersama bintang. Mari teruskan tingkah
kita yang tak memedulikan satusama lain.
Dari sudut jelaga, pernah kupinta kau berjanji untuk tak bersedih lagi. Janji yang tak boleh kau tanggalkan walau sebatas anggapan.
Dari sudut jelaga, pernah kupinta kau berjanji untuk tak bersedih lagi. Janji yang tak boleh kau tanggalkan walau sebatas anggapan.
Aku bahagia. Sungguh, meski tanpamu anggap aku bahagia.
Dan juga,
Anggap saja aku tak pernah menulis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar