YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Minggu, 15 Maret 2015

Magic and immortality


Kata orang, butuh luka untuk menulis.

“Aku punya luka. Beberapa gores.” Ujar Olivia kemudian menyesap hot americano dalam genggamnya.

Wanita ini sahabatku. Belum lama. Baru-baru ini kami saling membagi banyak hal. Tak ada yang tersembunyi. Tak ada yang menjaraki. Kami dekat. Menyatu. Pertemuan singkat namun bermakna dalam. Mematahkan sekat. Olivia bukan saudara sekandungku tapi naluri kami asalnya terasa dari rahim yang sama. Kami tak sedarah namun satusama lain seperti aliran yang berseliweran dalam pembuluh. Darahnya menuju jantungku, darahku melewati nadinya. Kami sehidup semati.

“Menulislah Vi, itu akan membuatmu sedikit lebih baik.” Saranku.

“Benarkah? Apa kau pernah mencobanya?” Ia bangkit dari selonjorannya.

Aku menarik pandangan darinya dan membuangnya ke jalan-jalan kota yang sesak di luar sana. Malam minggu, malam yang selalu riuh dan bingar oleh muda-mudi. “Pernah. Kini aku rutin.” Jawabku santai.

“Dan semuanya terobati? Apa lukamu sembuh?” Tanyanya dengan suara bersemangat.

“Luka apa? Aku tak punya luka.”Pandanganku kembali bertumpu padanya.

“Yang benar saja, Yas. Baru kemarin kau menangis bawang di bahuku.” Ia tertawa kecil. Alisku mengernyit.

“Aku? Menangis? Jangan mengada-ada.”

“Benar kau menangis. Menangisi dia.” Kembali disesap cairan dalam gelasnya.

“Dia? Siapa dia?” Kerut alisku bertambah. Mungkin sampai ke dahi. Olivia tak menjawab. Masih sibuk berciuman dengan bibir gelas.

“Dia siapa maksudmu?!”Tanyaku lagi.

“Dia yang hatinya pernah diracuni sang mantan. Dan kau bersedia menjadi penawar. Padahal sudah kuperingati kau untuk berpikir dua kali sebelum mengiyakan. Lihatlah akhirnya, sudah kuduga akan seperti ini.”

“Seperti apa?”

“Yasmine, berhenti menggodaku.” Olivia tiba-tiba memberengut.

“Aku memang tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Sungguh.”

“Jadi sejak kapan kau amnesia?” Tanyanya sigap.

“Lihat, siapa yang sedang berlelucon disini.”

“Oke oke.” Ia memperbaiki posisi duduk lalu mengibaskan rambut sepinggangnya ke belakang.

“Tadi kau tanya seperti apa? Baik akan kujelaskan. Kalian lalu saling jatuh cinta. Menurutku yang paling dalam jatuhnya adalah orang itu. Ia amat memujamu yang hadir seperti malaikat di hidupnya. Bagaimana ia tunduk padamu. Kurasa kaulah malaikat paling beruntung yang pernah ada.”

“Tunggu. Kurasa ada yang salah dari perkataanmu barusan.” Potongku.

“Memang. Aku salah. Salah tebak. Nyatanya kaulah malaikat paling bodoh. Dengan mudahnya kau di tipu pengibaan yang ia lakukan. Dibuatnya jatuh cinta secara perlahan dan jujur. Ia sendiri lihai memerankan tokoh yang sedang jatuh cinta. Picik, ia menjebakmu dalam drama cinta yang kau pikir adalah milikmu dan miliknya. Ini drama mereka, ia dan sang mantan. Dan kau hanya benda yang diciptakan untuk mengabadikan kisah pasangan itu. Apa kau mengerti sekarang?”

“Bukan itu maksudku. Yang salah menurutku adalah aku merasa tak pernah jatuh cinta pada siapapun.”

“Leluconmu tidak lucu, Yas. Sudahlah, aku ingin main game saja.” Olivia menggait ponsel dari atas meja.

“Vi, sedari tadi aku serius. Kau yang terlalu banyak membual. Membuatku kesal saja.” Ucapan Olivia sejak tadi terlalu ambigu menurutku.

Ia memalingkan pandangannya dari ponsel. Sinis menatapku. “Kau tuduh aku sedang mengarang cerita? Yang menyebalkan itu kau!” Sergahnya.

“Jika kau memang tidak sedang membual mengapa harus marah?!” Balasku dengan intonasi yang lebih tinggi.

“Apa yang tak kau percayai dari ceritaku tadi?!”

“Semuanya!”Tegasku. Olivia membuang muka beberapa lama lalu menatapku kembali dengan sendu.

“Kau tak percaya bahwa kini ia mencampakkanmu dan kembali pada kekasih lamanya? Wajar saja, Yas. Aku mengerti sulitmu untuk lekas memercayai itu. Tapi akan ada saat dimana kau mampu menerima dan merelakannya tanpa rasa sakit.”

“Merelakan orang yang sama sekali tak kukenali?”

Aku semakin dibingungkan oleh  penjelasan nanarnya. Apa yang salah dengan Olivia malam ini? Batinku.

“Ya Tuhan, Yasmine kau benar-benar menggerus kesabaranku. Berhenti berakting gila. Atau kau memang sudah gila?” Muak dengan segala cecarnya, kugamit gelas berisi kopi yang mulai dingin. Tingkah konyol anak ini lebih baik kuabaikan.

Kebingungan bercokol dalam benak masing-masing. Dalam jeda yang tak sebentar, aku menyadari kegondokanku pada Olivia hanya sebelah sisi saja. Aku tahu wanita sejiwaku ini takkan asal bicara. Ia mengenalku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Dan jika ia benar, berarti..

“Yas, tadi kau bilang sedang rutin menulis belakangan ini?” Pertanyaannya kembali mempertemukan bola mata kami.

Aku mengangguk pelan.

“Apa itu yang membuatmu menjadi sedikit.. Sedikit tidak normal?”

“Tidak, aku baik-baik saja.” Kembali kubantah kalimatnya.

“Bagaimana mungkin kau memungkiri sedangkan aku adalah dirimu sendiri? Yasmine Olivia. Kita orang yang sama.” Lalu Olivia memudar dari pandanganku. Lenyap secepat asap yang mengudara. Aku mengerjap berkali-kali. Tersentak. Darahku yang mengalir tenang kini berdesir kacau. Keringat dingin menembus pori-poriku.

Baru saja aku menyadari, kami dua yang satu. Perkataan Yasmine, perkataan Olivia, tak ada yang keliru dari mereka. Sejak menulis, aku menemukan sisi lain dari diriku. Menulis membuatku leluasa berpindah dunia. Torehanku mampu mengabadikan kisah dan menanggalkan masa lalu. Bukan salah Yasmine jika selembar memorinya seakan melenyap, ia hanya berada di lembar yang tak lagi sama. Menulis memang menjadikan manusia tampak aneh yang sebenarnya hanya bentuk klise dari merapikan kenangan. Kau tahu mereka? Para penulis ternama pernah disebut gila sebelum tulisannya di tepuk riuh oleh dunia.

"Menulislah, maka ‘kan kau dapatkan sesuatu yang tak mampu diberikan dunia. Seperti keajaiban atau keabadian."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar