Kata orang, butuh luka
untuk menulis.
“Aku punya luka. Beberapa gores.” Ujar Olivia kemudian
menyesap hot americano dalam genggamnya.
“Menulislah Vi, itu akan membuatmu sedikit lebih baik.” Saranku.
Aku menarik pandangan darinya dan membuangnya ke jalan-jalan
kota yang sesak di luar sana. Malam minggu, malam yang selalu riuh dan bingar oleh
muda-mudi. “Pernah. Kini aku rutin.” Jawabku santai.
“Dan semuanya terobati? Apa lukamu sembuh?” Tanyanya dengan
suara bersemangat.
“Luka apa? Aku tak punya luka.”Pandanganku kembali bertumpu padanya.
“Yang benar saja, Yas. Baru kemarin kau menangis bawang di
bahuku.” Ia tertawa kecil. Alisku mengernyit.
“Aku? Menangis? Jangan mengada-ada.”
“Benar kau menangis. Menangisi dia.” Kembali disesap cairan
dalam gelasnya.
“Dia? Siapa dia?” Kerut alisku bertambah. Mungkin sampai ke
dahi. Olivia tak menjawab. Masih sibuk berciuman dengan bibir gelas.
“Dia siapa maksudmu?!”Tanyaku lagi.
“Dia yang hatinya pernah diracuni sang mantan. Dan kau bersedia
menjadi penawar. Padahal sudah kuperingati kau untuk berpikir dua kali sebelum
mengiyakan. Lihatlah akhirnya, sudah kuduga akan seperti ini.”
“Seperti apa?”
“Yasmine, berhenti menggodaku.” Olivia tiba-tiba
memberengut.
“Aku memang tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Sungguh.”
“Jadi sejak kapan kau amnesia?” Tanyanya sigap.
“Lihat, siapa yang sedang berlelucon disini.”
“Oke oke.” Ia memperbaiki posisi duduk lalu mengibaskan
rambut sepinggangnya ke belakang.
“Tadi kau tanya seperti apa? Baik akan kujelaskan. Kalian lalu
saling jatuh cinta. Menurutku yang paling dalam jatuhnya adalah orang itu. Ia
amat memujamu yang hadir seperti malaikat di hidupnya. Bagaimana ia tunduk
padamu. Kurasa kaulah malaikat paling beruntung yang pernah ada.”
“Tunggu. Kurasa ada yang salah dari perkataanmu barusan.” Potongku.
“Memang. Aku salah. Salah tebak. Nyatanya kaulah malaikat
paling bodoh. Dengan mudahnya kau di tipu pengibaan yang ia lakukan. Dibuatnya
jatuh cinta secara perlahan dan jujur. Ia sendiri lihai memerankan tokoh yang sedang
jatuh cinta. Picik, ia menjebakmu dalam drama cinta yang kau pikir adalah
milikmu dan miliknya. Ini drama mereka, ia dan sang mantan. Dan kau hanya benda
yang diciptakan untuk mengabadikan kisah pasangan itu. Apa kau mengerti
sekarang?”
“Bukan itu maksudku. Yang salah menurutku adalah aku merasa
tak pernah jatuh cinta pada siapapun.”
“Leluconmu tidak lucu, Yas. Sudahlah, aku ingin main game saja.” Olivia menggait ponsel
dari atas meja.
“Vi, sedari tadi aku serius. Kau yang terlalu banyak
membual. Membuatku kesal saja.” Ucapan Olivia sejak tadi terlalu ambigu
menurutku.
Ia memalingkan pandangannya dari
ponsel. Sinis menatapku. “Kau tuduh aku sedang mengarang cerita? Yang
menyebalkan itu kau!” Sergahnya.
“Jika kau memang tidak sedang membual
mengapa harus marah?!” Balasku dengan intonasi yang lebih tinggi.
“Apa yang tak kau percayai dari
ceritaku tadi?!”
“Semuanya!”Tegasku. Olivia
membuang muka beberapa lama lalu menatapku kembali dengan sendu.
“Kau tak percaya bahwa kini ia
mencampakkanmu dan kembali pada kekasih lamanya? Wajar saja, Yas. Aku mengerti
sulitmu untuk lekas memercayai itu. Tapi akan ada saat dimana kau mampu menerima
dan merelakannya tanpa rasa sakit.”
“Merelakan orang yang sama sekali
tak kukenali?”
Aku semakin dibingungkan oleh penjelasan nanarnya. Apa yang salah dengan
Olivia malam ini? Batinku.
“Ya Tuhan, Yasmine kau benar-benar menggerus
kesabaranku. Berhenti berakting gila. Atau kau memang sudah gila?” Muak dengan
segala cecarnya, kugamit gelas berisi kopi yang mulai dingin. Tingkah konyol
anak ini lebih baik kuabaikan.
Kebingungan bercokol dalam benak
masing-masing. Dalam jeda yang tak sebentar, aku menyadari kegondokanku pada
Olivia hanya sebelah sisi saja. Aku tahu wanita sejiwaku ini takkan asal bicara.
Ia mengenalku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Dan jika ia benar,
berarti..
“Yas, tadi kau bilang sedang
rutin menulis belakangan ini?” Pertanyaannya kembali mempertemukan bola mata kami.
Aku mengangguk pelan.
“Apa itu yang membuatmu menjadi sedikit..
Sedikit tidak normal?”
“Tidak, aku baik-baik saja.”
Kembali kubantah kalimatnya.
“Bagaimana mungkin kau memungkiri
sedangkan aku adalah dirimu sendiri? Yasmine Olivia. Kita orang yang sama.”
Lalu Olivia memudar dari pandanganku. Lenyap secepat asap yang mengudara. Aku mengerjap berkali-kali. Tersentak.
Darahku yang mengalir tenang kini berdesir kacau. Keringat dingin menembus
pori-poriku.
Baru saja aku menyadari, kami dua yang satu. Perkataan
Yasmine, perkataan Olivia, tak ada yang keliru dari mereka. Sejak menulis, aku
menemukan sisi lain dari diriku. Menulis membuatku leluasa berpindah dunia.
Torehanku mampu mengabadikan kisah dan menanggalkan masa lalu. Bukan salah
Yasmine jika selembar memorinya seakan melenyap, ia hanya berada di lembar yang
tak lagi sama. Menulis memang menjadikan manusia tampak aneh yang sebenarnya
hanya bentuk klise dari merapikan kenangan. Kau tahu mereka? Para penulis ternama pernah disebut gila sebelum tulisannya di tepuk riuh oleh dunia.
"Menulislah, maka ‘kan kau dapatkan sesuatu yang tak mampu diberikan dunia. Seperti keajaiban atau keabadian."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar