“Sarah, selamat
ulang tahun sayang.” Seruku pada putri tunggalku.
“Semoga panjang umur
anakku.” Sambung Ayahnya yang berdiri tepat di sebelahku.
“Ayah.. bunda..” Sarah yang sudah terlelap sejak pukul Sembilan tadi seketika menggeliat dan melompat memeluk kami saat memberinya surprise yang tak pernah absen kami lakukan setiap tahunnya. Ia tersenyum lebar juga pada matanya. Senyum yang menyamarkan rasa kantuk yang menjarah mata indah miliknya yang kini sembab. Bagi kami kebahagiaan Sarah adalah segalanya. Kebahagiaan yang seharusnya kami jaga seutuhnya untuk Sarah. Seutuhnya.
“Tiup lilinnya
sayang tapi sebelumnya berdoa dulu.”Ujarku sambil menyodorkan kue ulang tahun
berangka tujuh ke arahnya.
“Gimana caranya Sarah berdoa?” Tanya gadis kecilku polos.
“Cukup katakan saja apa yang Sarah minta pada Tuhan.” Jawab Ayahnya. Aku tertawa kecil, di usianya yang sekarang bagaimana mungkin Sarah bertanya hal seperti itu.
“Gimana caranya Sarah berdoa kalo yang Sarah minta udah dikabulin.”
“Lihat ayah sama bunda disini, sekarang udah terkabul."
Kalimat Sarah
membuat bola mataku dan Ayahnya bertemu. Kami saling melempar pandangan haru di
atas rasa yang tak bisa di jabarkan. Bulirku menetes namun lekas kuseka.
Sehabis Sarah meniup lilin dan menyuapi kami tart. Aku segera memeluk dan memintanya
tidur kembali.
Aku menutup pintu
kamar Sarah, berjalan pelan menuju ruang depan disusul ayahnya.
“Aku pamit dulu, Fit.”
“Oh, iya mas Bram.
Hati-hati, terima kasih sudah menyempatkan datang."
“Tidak perlu berterima kasih segala, aku ini Ayahnya, sudah tugasku seperti ini.”
"Salam untuk Sita ya, kudengar sebentar lagi anak kalian lahir.” Bram tercenung sejenak lalu tersenyum tipis. Mengangguk pelan.
Lelaki bertubuh
tinggi itu pamit dan berlalu bersama bayangnya meninggalkan rumahku. Rumah kita dulu. Perpisahan. Masih dalam ketidakpercayaanku. Perselingkuhannya dengan wanita bernama Ayusita sekaligus pengakuannya bahwa ia tak lagi mencintaiku baru kuketahui beberapa hari setelah merayakan ulang tahun ke enam Sarah. Mungkin aku egois, memutuskan bercerai yang sesungguhnya adalah mimpi buruk bagi putri kami. Tapi tidak, aku hanya sedang mengajari Sarah berbesar hati dan kelak mengerti bagaimana sesungguhnya cinta itu. Bahwa sejatinya cinta bukan hanya tentang memiliki namun juga merelakan.
Pria itu, Sarah merindukannya. Aku juga. Masih.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1
dari www.nulisbuku.com di
Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar