Sebelumnya aku
minta maaf, sepertinya kita enggak bisa lagi melanjutkan hubungan ini karena ada
beberapa hal yang kita enggak bisa terusin. Aku minta maaf harus seperti ini.
Mataku membelalak membaca kata per kata pesan itu. Setiap
kata serasa menohokkan satu belati ke jantungku. Batinku berteriak tak percaya
dengan apa yang barusan kubaca. Aku tidak sedang berkhayal, pesan itu nyata.
Sekeras apapun aku berusaha mengelak, kenyataannya Dion telah memutuskan
hubungan kami melalui pesan itu. Hubungan yang telah lama kami jalin berakhir di
sebuah pesan singkat. Singkat namun tikamannya tepat sasaran. Menembus jantung.
Tanpa pikir panjang, aku menelepon Dion dengan tangan gemetar dan napas yang memburu. Dion harus menjelaskan banyak hal padaku. Dion tidak bisa seperti ini, tidak bisa. Berkali-kali telepon itu tak dijawab namun aku terus mencobanya menelpon lagi. Aku hampir terpeleset saat menuruni tangga, seluruh tubuhku gemetar hebat. Aku berhenti di tengah tangga, memukul-mukul lututku yang keram. Aku menuju ruang tamu dengan berjalan susah payah, sebelah tanganku memegang ponsel di telinga, sebelahnya meremas dada bajuku. Suara nada sambung akhirnya berganti dengan helaan napas dari seberang, aku terduduk di lantai luruh bersama rasa sakit, disusul tangisku yang akhirnya pecah juga, hanya tangis. Aku tak bisa bicara.
“Aku.. enggak..” Lidahku kelu. napas yang tersengal membuat kalimat yang
kulontarkan terdengar seperti igauan. Beribu kalimat harus kukatakan pada Dion. Aku mengutuk
diriku yang tak bisa mengucap satu kalimat dengan baik.
“Fika, tenanglah.”
“Enggaaak!”Sergahku.
“Fika, dengarkan aku.”
“Enggak.. kita enggak bisa seperti ini.” Aku akhirnya bisa
melontarkan dengan jelas.
“Enggak, aku enggak mau dengar apa-apa. Kamu yang dengar aku. Enggak, aku enggak bisa putus. Aku enggak mau. Aku enggak bisa. Aku.. Apa kamu tahu kalau aku..”
“Fika, aku juga enggak bisa. Tolong, tenanglah. Jangan
menangis seperti ini, kumohon. Aku enggak sanggup dengar kamu menangis.”
“Aku janji akan berubah Dion, apapun kesalahan aku, aku
minta maaf. Aku bisa terima kalau kamu marah, tapi kita enggak boleh putus.
Bisa-bisanya kamu mengakhiri hubungan ini. Dosaku sebesar apa, hah?!”
“Tenangkan dirimu dulu.”
“Bagaimana mungkin aku tenang, Dion!”Bentakku. Emosiku kacau. Aku berada di ambang kegilaan.
“Oke, baiklah, dengarkan aku. Fika, dengarkan! Kita enggak
putus okey? Aku masih sangat sayang sama kamu. Aku juga enggak bisa jauh dari
kamu, enggak akan bisa. Kamu tahu itu.”
“Lalu kenapa kamu tega?”Aku menutup mulut. Menahan isak.
“Kita akan ketemu dan bicarakan ini.”
“Enggak kamu harus bicara sekarang. Kamu menghilang, aku frustasi mencari-cari kamu dan tiba-tiba pesan kamu
masuk hanya untuk mengakhiri hubungan kita?”
“Kita ngga bisa bicarakan ini di telepon.”
“Kalau begitu tunggu aku di kantormu pagi ini. Aku akan
kesana.”Balasku cepat.
“Jangan, Fik. Enggak perlu. Aku sedang dirumah sakit sekarang. Akan ku usahakan secepat mungkin untuk menemuimu. Kita
akan bicara.”
“Tapi kapan?"
"Setelah proses persalinan Tia selesai."
"Setelah proses persalinan Tia selesai."
Aku menghempaskan ponselku ke dinding sesaat setelah Dion mendengungkan kalimatnya. Benda itu pecah, hambur seperti hatiku. Tatapanku kosong tak berkutik. Aku mencoba menguatkan langkah, berjalan lunglai menuju dapur. Aku menuangkan bir ke dalam gelas, kutenggak kasar. Pahit.
Berkali-kali kutelan kepahitan ini. Aku tak peduli apapun lagi. Cairan ini harus mematikanku sekarang. Juga bayi dalam perutku.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar