YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Minggu, 22 Maret 2015

Logika dan Hati



“Hati-hatilah dalam menangkap sinyal.”

Kalimat itu keluar untuk kesekian kalinya dari sosok yang kini sudah kuanggap sahabat sendiri. Kami sudah lama saling mengenal namun jarang duduk bersama. Ingin tahu kapan aku mulai mengakrabinya? Sejak Hatiku berdarah-darah karena kedunguannya sendiri. Sejak itu aku tak pernah mempercayainya lagi dan mulai mendengarkan sahabat baruku; Logika.


“Ya, aku tahu. Kau sudah mengatakan ini berkali-kali.”Sahutku.

“Lalu mengapa kau belum sadar juga?”

“Aku sadar, sesuatu yang salah sedang terjadi sekarang.”

“Tidak ada yang salah, hanya keliru. Ingat, dua kata itu berbeda. Kau tidak salah dalam membaca perasaan, kau hanya keliru dalam mengartikannya.”

Aku menelan ludah. Percakapan pembuka saja sudah membuatku tegang. Kuhembuskan napas berat sebelum Logika melanjutkan kalimatnya. Maksudku sedang menyiapkan diri, mungkin saja ia akan menghakimiku setelah mendengar pengakuanku beberapa saat lalu. Kami memang sedang membicarakan sesuatu yang tidak begitu ringan dan bukan hal baru lagi. Kali ini, aku mencari dan mengajaknya mengobrol sebentar. Hanya berdua. Sengaja aku tak mengikutsertakan Hati karena aku sudah hapal bagaimana kacaunya saat mereka bertemu dalam satu meja. Sejagadraya sudah tahu Logika dan Hati tenar akan ketidaksependapatannya.

Sebagian manusia yang muak dengan polemik mereka memilih menghentikan badai perdebatan. Dengan menjadi pengikut salah satunya adalah agar tak ada lagi kericuhan dalam diri mereka. Yang patuh pada Logika tampak seperti robot; Realistis dan tak berperasaan sama sekali. Dan yang amat patuh dengan Hati adalah yang paling banyak menelan kecewa. Kebanyakan korbannya pun wanita. Bukan rahasia publik lagi jika wanita adalah makhluk yang begitu mudah dikendalikan perasaan yang sumbernya dari Hati. Jadi wajar saja wanita begitu mudah digerayangi janji palsu lelaki.

“Hanya keledai yang jatuh dilubang yang sama.”Tandas Logika.

“Aku mengerti, Log. Justru itu, setelah tahu letak permasalahannya dimana, aku tak memintamu untuk mengerti apalagi mencoba merasakan kebingunganku ini. Itu keahlian sang Hati yang tak bisa kau tandingi. Aku hanya minta apa yang bisa kau lakukan. Logikakan aku sekarang.”

“Jangan biarkan kata Hati mengendalikan arusku lagi.”Lanjutku.

Logika memperbaiki posisi duduknya, menatapku lamat-lamat.
“Apa yang kau rasakan? Nyaman? Rindu? Khawatir? Takut? Dan si Hati mengira itu bentuk dari cinta. Jika kita begitu mudahnya mempersepsikan sesuatu adalah benih cinta melalui perasaan-perasaan yang tak biasa juga debaran aneh yang tak tahu asalnya darimana, lebih baik kau pudarkan secepatnya, jika bisa bersihkan hingga sebersih-bersihnya.”

“Me..mengapa?” Tanyaku terbata.

“Karena luka.”

“Lukamu terlalu mudah untuk dilihat. Senyummu bahkan masih sangat palsu. Coba kau pikir, kau mengkhawatirkan kondisi orang lain sementara kondisimu sendiri tak kau hiraukan? Kau merindukan masa lalu sekaligus masa sekarang? Apa itu sehat? Apa kau mengira kau sudah sembuh? Kau bahkan masih berkabung atas kematian cintamu kemarin, semua terlihat jelas dari roman wajahmu meski kau samarkan lewat tingkahmu yang sok kuat. Kuberitahu, jika kau tak segera menjaraki kedekatan yang tengah berlangsung, itu bukan hal yang bisa kubenarkan. Mengapa? Karena alasanmu untuk berada di dekat seseorang yang baru suatu saat bisa menyakitinya dan menyakitimu balik. Bagaimana jika rasa itu hanya bentuk kesepian yang mengelabui? Mungkin saja ia sedang butuh seseorang disampingnya, tepat sepertimu. Kalian saling mengisi satusama lain dan merasa telah melengkapi. Lalu ketika semua berjalan normal kembali, maksudku salah satu dari kalian akhirnya jatuh cinta sebenar-benarnya dengan orang lain diluar sana, aku yakin alasan kekhawatiran itu akan kalah ketika seseorang jatuh cinta dengan alasan yang jelas atau tanpa alasan sekalipun.”

Segerombolan kata-kata Logika berhasil membuka pikiran sekaligus meretak-retakkan perasaanku. Begitulah Logika, mampu membuat seseorang mengerti melalui kejujurannya yang pelik.

Aku membisu sejenak namun tidak sedang diam. Derap langkah sang Hati menghampiri. Sibuk kusekap mulutnya yang berusaha menyergah Logika. Mungkin tidak lagi aku membiarkannya bicara. Tidak lagi aku ingin dilemahkan perasaan. Kucoba membujuk Hati yang merasa terabaikan.

Hati, dengarkan aku. Kali ini kumohon lunakkan egomu. Aku bukannya tak menghargai pendapatmu lagi, juga mendendam karena luka yang masih legam. Kau justru adalah tempat yang amat ingin kujaga.”

“Aku hanya ingin kau tahu aku tak sedang merekayasa perasaan yang ada. Kau mengenalku dengan baik, aku diciptakan tak mampu berbohong jika sesuatu yang tak biasa sedang terjadi. Kau merasakannya hanya kau terlalu naïf mengakui hal tersebut. Luka butuh obat dan tidak ada penyembuh lain selain jatuh cinta lagi.” Sekali lagi ia meyakinkanku akan pendapatnya.

“Butuh obat? Mereka hanya saling membutuhkan sosok yang bisa meramaikan sunyi. Saling memanfaatkan kau sebut sedang jatuh cinta?” Serang Logika pada Hati

“Apa yang membuatmu begitu memercayai monster tak berperasaan ini? Logika hanya ingin terus membenamkanmu dalam ketakutan untuk memulai lagi.” Hati kembali menyudutkanku. Mereka berdua bergantian menamparku dengan argumennya.

“Diam kalian berdua. Kumohon diamlah.” Bisikku tajam. Rahangku mengatup keras. Muak.

“Jika Logika dan Hati kembali berisik, bicarakan saja pada penciptanya.”


Terkesiap. Lekas kucari-cari asal suara tadi namun yang kutemui hanya lorong gelap. Aku sepertinya tersesat di alam lain. Apa aku sedang bermimpi? Apa aku sedang terjebak dalam labirin? Entahlah dimana aku sekarang, yang jelas ketika kita berada dalam perdebatan seperti di atas, camuk dan menjadikan kita gamang, temuilah sang pemilik Logika, pembolak-balik Hati. Sesungguhnya, jawaban kita disana.


“Logika dan Hati, mereka berdua memang sengaja diciptakan dalam ketidakakuran agar manusia bisa belajar banyak darisana.”


“Akan ada datang setelah pergi, begitupun sebaliknya. Semoga kita tak pernah lupa bahwa pangkal perasaan adalah kuasaNya, Bahwa Dia-lah yang mematikan juga menumbuhkan."

"Ajaklah diri berbicara dengan dirinya sendiri. Karena ada bagian dari diri manusia yang tahu tentang hal yang belum dan yang perlu kita ketahui.”


“Telah banyak sejoli yang memilih menyegerakan genggaman baru. Seakan amat takut mereka dicekik kesendirian dan memilih menjalani kepalsuan, Parahnya sebuah pelampiasan yang berlangsungpun ditampiknya.”


“Bukanlah cinta yang baru yang menyembuhkan, tapi waktu.”


3 komentar:

  1. Ini postingan anda yang saya tunggu, meski sempat muncul lalu di sembunyikan kembali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama sepertimu, bersembunyi di balik kalimat "Aku tidak tahu blogmu."

      Hapus
    2. Saya tidak bersembunyi, saya ada, akan selalu ada menjadi pembaca.setia blog anda.

      Hapus