“Hati-hatilah dalam menangkap
sinyal.”
Kalimat itu keluar untuk kesekian
kalinya dari sosok yang kini sudah kuanggap sahabat sendiri. Kami sudah lama
saling mengenal namun jarang duduk bersama. Ingin tahu kapan aku mulai
mengakrabinya? Sejak Hatiku berdarah-darah karena kedunguannya sendiri.
Sejak itu aku tak pernah mempercayainya lagi dan mulai mendengarkan sahabat
baruku; Logika.
“Ya, aku tahu. Kau sudah mengatakan
ini berkali-kali.”Sahutku.
“Lalu mengapa kau belum sadar juga?”
“Aku sadar, sesuatu yang salah
sedang terjadi sekarang.”
“Tidak ada yang salah, hanya keliru. Ingat,
dua kata itu berbeda. Kau tidak salah dalam membaca perasaan, kau hanya keliru
dalam mengartikannya.”
Aku menelan ludah. Percakapan
pembuka saja sudah membuatku tegang. Kuhembuskan napas berat sebelum Logika
melanjutkan kalimatnya. Maksudku sedang menyiapkan diri, mungkin saja ia akan
menghakimiku setelah mendengar pengakuanku beberapa saat lalu. Kami memang
sedang membicarakan sesuatu yang tidak begitu ringan dan bukan hal baru lagi. Kali
ini, aku mencari dan mengajaknya mengobrol sebentar. Hanya berdua. Sengaja aku
tak mengikutsertakan Hati karena aku
sudah hapal bagaimana kacaunya saat mereka bertemu dalam satu meja. Sejagadraya
sudah tahu Logika dan Hati tenar akan ketidaksependapatannya.
Sebagian manusia yang muak dengan
polemik mereka memilih menghentikan badai perdebatan. Dengan menjadi pengikut
salah satunya adalah agar tak ada lagi kericuhan dalam diri mereka. Yang patuh
pada Logika tampak seperti robot; Realistis dan tak berperasaan sama
sekali. Dan yang amat patuh dengan Hati adalah yang paling banyak
menelan kecewa. Kebanyakan korbannya pun wanita. Bukan rahasia publik lagi jika
wanita adalah makhluk yang begitu mudah dikendalikan perasaan yang sumbernya dari
Hati. Jadi wajar saja wanita begitu mudah digerayangi janji palsu lelaki.
“Hanya keledai yang jatuh dilubang
yang sama.”Tandas Logika.
“Aku mengerti, Log. Justru
itu, setelah tahu letak permasalahannya dimana, aku tak memintamu untuk
mengerti apalagi mencoba merasakan kebingunganku ini. Itu keahlian sang Hati
yang tak bisa kau tandingi. Aku hanya minta apa yang bisa kau lakukan.
Logikakan aku sekarang.”
“Jangan biarkan kata Hati
mengendalikan arusku lagi.”Lanjutku.
Logika memperbaiki posisi duduknya, menatapku lamat-lamat.
“Apa yang kau rasakan? Nyaman?
Rindu? Khawatir? Takut? Dan si Hati
mengira itu bentuk dari cinta. Jika kita begitu mudahnya mempersepsikan sesuatu
adalah benih cinta melalui perasaan-perasaan yang tak biasa juga debaran aneh
yang tak tahu asalnya darimana, lebih baik kau pudarkan secepatnya, jika bisa
bersihkan hingga sebersih-bersihnya.”
“Me..mengapa?” Tanyaku terbata.
“Karena luka.”
“Lukamu terlalu mudah untuk dilihat.
Senyummu bahkan masih sangat palsu. Coba kau pikir, kau mengkhawatirkan kondisi
orang lain sementara kondisimu sendiri tak kau hiraukan? Kau merindukan masa
lalu sekaligus masa sekarang? Apa itu sehat? Apa kau mengira kau sudah sembuh?
Kau bahkan masih berkabung atas kematian cintamu kemarin, semua terlihat jelas
dari roman wajahmu meski kau samarkan lewat tingkahmu yang sok kuat. Kuberitahu,
jika kau tak segera menjaraki kedekatan yang tengah berlangsung, itu bukan hal
yang bisa kubenarkan. Mengapa? Karena alasanmu untuk berada di dekat seseorang
yang baru suatu saat bisa menyakitinya dan menyakitimu balik. Bagaimana jika
rasa itu hanya bentuk kesepian yang mengelabui? Mungkin saja ia sedang butuh seseorang
disampingnya, tepat sepertimu. Kalian saling mengisi satusama lain dan merasa
telah melengkapi. Lalu ketika semua berjalan normal kembali, maksudku salah
satu dari kalian akhirnya jatuh cinta sebenar-benarnya dengan orang lain diluar
sana, aku yakin alasan kekhawatiran itu akan kalah ketika seseorang jatuh cinta
dengan alasan yang jelas atau tanpa alasan sekalipun.”
Segerombolan kata-kata Logika
berhasil membuka pikiran sekaligus meretak-retakkan perasaanku. Begitulah Logika,
mampu membuat seseorang mengerti melalui kejujurannya yang pelik.
Aku membisu sejenak namun tidak
sedang diam. Derap langkah sang Hati
menghampiri. Sibuk kusekap mulutnya yang berusaha menyergah Logika. Mungkin
tidak lagi aku membiarkannya bicara. Tidak lagi aku ingin dilemahkan perasaan.
Kucoba membujuk Hati yang merasa terabaikan.
“Hati, dengarkan aku. Kali
ini kumohon lunakkan egomu. Aku bukannya tak menghargai pendapatmu lagi, juga
mendendam karena luka yang masih legam. Kau justru adalah tempat yang amat
ingin kujaga.”
“Aku hanya ingin kau tahu aku tak
sedang merekayasa perasaan yang ada. Kau mengenalku dengan baik, aku diciptakan
tak mampu berbohong jika sesuatu yang tak biasa sedang terjadi. Kau
merasakannya hanya kau terlalu naïf mengakui hal tersebut. Luka butuh obat dan
tidak ada penyembuh lain selain jatuh cinta lagi.” Sekali lagi ia meyakinkanku
akan pendapatnya.
“Butuh obat? Mereka hanya saling
membutuhkan sosok yang bisa meramaikan sunyi. Saling memanfaatkan kau sebut sedang
jatuh cinta?” Serang Logika pada Hati
“Apa yang membuatmu begitu
memercayai monster tak berperasaan ini? Logika
hanya ingin terus membenamkanmu dalam ketakutan untuk memulai lagi.” Hati kembali menyudutkanku. Mereka
berdua bergantian menamparku dengan argumennya.
“Diam kalian berdua. Kumohon
diamlah.” Bisikku tajam. Rahangku mengatup keras. Muak.
“Jika Logika dan Hati kembali
berisik, bicarakan saja pada penciptanya.”
Terkesiap. Lekas kucari-cari asal
suara tadi namun yang kutemui hanya lorong gelap. Aku sepertinya tersesat di
alam lain. Apa aku sedang bermimpi? Apa aku sedang terjebak dalam labirin?
Entahlah dimana aku sekarang, yang jelas ketika kita berada dalam perdebatan
seperti di atas, camuk dan menjadikan kita gamang, temuilah sang pemilik Logika,
pembolak-balik Hati. Sesungguhnya, jawaban kita disana.
“Logika dan Hati, mereka berdua memang sengaja diciptakan dalam ketidakakuran agar manusia bisa belajar banyak darisana.”
“Akan ada datang setelah pergi, begitupun sebaliknya. Semoga kita tak pernah lupa bahwa pangkal perasaan adalah kuasaNya, Bahwa Dia-lah yang mematikan juga menumbuhkan."
"Ajaklah diri berbicara dengan dirinya sendiri. Karena ada bagian dari diri manusia yang tahu tentang hal yang belum dan yang perlu kita ketahui.”
“Telah banyak sejoli yang memilih menyegerakan genggaman baru. Seakan amat takut mereka dicekik kesendirian dan memilih menjalani kepalsuan, Parahnya sebuah pelampiasan yang berlangsungpun ditampiknya.”
“Bukanlah cinta yang baru yang menyembuhkan, tapi waktu.”
Ini postingan anda yang saya tunggu, meski sempat muncul lalu di sembunyikan kembali.
BalasHapusSama sepertimu, bersembunyi di balik kalimat "Aku tidak tahu blogmu."
HapusSaya tidak bersembunyi, saya ada, akan selalu ada menjadi pembaca.setia blog anda.
Hapus