YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Laman

Rabu, 18 Maret 2015

Apa lagi yang kita tunggu?



“Mungkin ini bukan yang pertama, Cha. Tapi kali ini gue mau sampein sesuatu yang beda dari kemaren. Yang bagi elo janji-janji semasa pacaran adalah hal murahan yang bisa dilakuin siapa aja. Padahal sih alasan sebenernya karena elo trauma aja ditinggalin. Intinya cuman mau loe tahu aja kalo gue juga capek sama perdebatan kita belakangan ini soal tujuan komitmen, jadi gue.. gue akan ngelamar elo.”

Akhirnya berulangkali kurapalkan, fasih kalimat panjang itu kusuarakan di depan cermin wastafel. Kuharap saraf neuron dan indera pendengaran berfungsi super baik siang ini. Ia Chantika, kekasih tiga tahunku sekaligus rekan kerja yang akrab kusapa Cha. Aku tak ingin mengulang ucapan sakral itu sampai dua kali, apalagi tigakali. Selain pemborosan liur juga mengikis nilai kesakralan dan keromantisannya. Padahal sejujurnya aku saja yang terlalu kaku menyampaikan lamaran. Yang seharusnya sudah terlontar seminggu lalu.

Aku berjalan keluar dari toilet berjalan menuju meja kerja Chantika. Membawa kalimat-kalimat suci yang sebentar lagi kulantunkan di hadapannya.

"Gue mau ngomong." Ujarku dengan suara setegas mungkin. Ia menoleh. Airmukanya tak sedikitpun menyiratkan keheranan. Mungkin ia sudah hapal kebiasaanku yang tak suka basa-basi. Namun Cha tak juga bergeser dari kursinya. Kini, malah aku yang disergap heran.

Lengannya kucengkram, “Yuk, kita ngomong di luar aja.”

“Udahlah Fad, semua udah berakhir.” Ujarnya sambil melonggarkan cengkramanku. Hatiku tersentak.

“Apanya yang berakhir?”

“Bagi gue ini udah selesai. Enggak ada yang perlu dipertanyakan lagi.” Kutemukan kesenduan yang tak biasa diwajahnya kali ini.

“Apa maksud loe, Cha?”Tanyaku panik. Ia membisu cukup lama. Jedanya membuatku diserang kecemasan yang luarbiasa.

“Loe mau ngelamar gue kan?” Pertanyaan mengejutkan yang disusul tawa kecilnya.

“Sorry sayang, loe udah keduluan orangtua loe. Semalam mereka udah dateng kerumah dan bicarain sama orangtua gue. Emang enak dikerjain kita.” Cha lalu terbahak. Aku hanya bisa menyaksikannya tertawa, lidahku kelu, masih dalam ketidakpercayaan.
Rencanaku berantakan seketika.

“Loe enggak perlu tanya gue bersedia apa enggak. Karena hati gue enggak punya pilihan lain selain milih loe. Jadi apa lagi yang kita tunggu?” Bisiknya sambil memelukku. Aku tersenyum bahagia. Sangat bahagia. Rencanaku tak gagal. Semuanya berjalan lebih indah dari yang kubayangkan.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar