Tuhan tak pernah berlebihan dan berkekurangan dalam menakar.
Semesta selalu tahu porsi yang tepat atas ketetapan-ketetapanNya di muka bumi.
Seperti aku, kamu juga mereka. Seperti apa yang telah ditetapkan dalam
kehidupan kita, Allah maha tahu apa yang pantas dan tak pantas. Mungkin kita
sempat bertanya-tanya akan kepantasan itu sendiri, apakah benar ketetapan itu
sudah sesuai perhitunganNya? Apakah adil itu hanya mampu dilihat dari sudut
pandangNya? Apa takdir itu memang benar adalah yang terbaik menurutNya? Dan
untuk mendapat jawaban dari itu semua bukan hal yang singkat untuk bisa
diterima dan dipahami manusia. Kita tahu sendiri ‘kan watak buruk manusia itu
sendiri. Sok tahu dan keras kepala.
Hanya sampai di suatu masa, dimana hidup menempa kita dengan
ujian disusul hidayah, barulah kita sadar ada dzat yang maha mengetahui dan
manusia bukanlah apa-apa. Aku pribadi pernah melewati masa itu. Saat kesedihan
membelengguku atas mimpi keberhasilan yang kurasa selalu sengaja digagalkan. Aku
menuduh kehidupan ini tidak adil, saat kulihat semua kejadian hanya menimpa manusia
bernama aku. Sok tahu. Kuatur rapi rencana hidupku sendiri dan kuyakini itulah
yang terbaik untukku. Usaha? Pontang-panting, ngilu belulangku demi
mewujudkannya dan dengan pongah aku mengakui semua adalah berkatku. Doa? Iya,
aku melakukannya setiap waktu. Yang kupikir aku sedang memohon, rupanya aku
sedang memerintah. Di akhir episode, aku baru mengerti tentang ketidakpantasan
yang pantas aku sandang saat aku berlagak menjadi hamba yang congkak.
Manusia itu perutuk, seperti yang kulakukan saat merasa
do'aku tak pernah diijabah juga usahaku yang tak pernah diperhitungkan. Mungkin
sulit bagi kita untuk mempercayai bahwa tak ada do'a yang tak
dikabulkanNya jika kita tak melihat wujud itu dengan kasat mata. Juga tak ada
adil yang terlaksana dengan benar jika satu sisi dan sisi lainnya tak
mendapatkan sesuatu yang sama dan setimpal. Lisan komat-kamit mengulang betapa
kita seutuhnya menyerahkan urusan pada Allah namun di hati kecil kita, satu
bintik ketidakberserahan menjadi noda yang semakin lama akan melebar. Dan Dia maha mengetahui segala isi hati.
Kegagalan dan kehilangan itu menyapa akhirnya. Sekali, duakali,
berulangkali. Kita menangis, meratapi semua yang tak sesuai dengan apa yang
kita dengung-dengungkan dalam lirih doa selama ini, mengomel dan tak mau tahu
alasan apapun dibalik penangguhanNya. Jika kita bertingkah seperti itu, apakah kita termasuk hamba yang tergolong tak punya iman?
Bisa iya, bisa juga tidak. Terkadang manusia butuh diam untuk mempertanyakan berbagai hal. Dan
aku termasuk orang yang amat setuju akan kalimat itu. Menangis, memaki,
meratap, bagiku bukan sepenuhnya bentuk penentangan atas takdir. Mereka hanya
bentuk akibat dari sebab yang alamiah terjadi dalam siklus hidup. Kecewa atas
kenyataan yang keluar dari konsep
ekspektasi adalah wajar. Kita memang butuh jatuh untuk mengerti apa itu
bangkit. Sama halnya kita butuh tabrakan agar kita yakin ada penyetir yang lebih handal untuk
perjalanan hidup kita.
Hati kita bukan benda mati, ia seonggok daging yang
dikaruniakan mampu merasa. Kau sedih, maka menangislah. Kau bahagia, maka
tertawalah. Benar ada sebagian orang yang mampu membolak-balikkan hal tersebut.
Menangis dalam haru bahagia, dan yang terburuk harus tertawa dalam tangis. Namun
kita tak dituntut untuk seperti itu. Menangis bukan simbol kelemahan dan kekalahan. Menangis
adalah bentuk kejujuran terhadap diri sendiri dan kita tak harus membendung itu
hanya untuk disebut kuat.
Sejatinya kuat bukanlah itu. Jatuh, tersungkur, mencoba
meraih tangan yang terulur, yang nyatanya malah pukulan telak menghempas,
terperosok sedalam-dalamnya. Kecewa. Kepercayaan wafat pada semua orang, juga pada Tuhan. Menolak cahaya dan memilih terasing dalam bilik sunyi pada
lubang. Pengap menunggu mati.
Namun dalam tunggu, serpihan kecil sisa harapan
kemarin masih digenggam erat oleh munajat yang beterbangan. Harapan bisa saja
patah, entah dipatahkan atau mematahkan diri sendiri. Berbeda dengan do’a. Do’a
seperti air yang hilirnya selalu sampai ke muara yang di tuju. Seperti angin
yang desaunya menembus angkasa. Yang untuk dihancurkan, dihalangi, dan disalah-arahkan
adalah mustahil. Serpihan itu tumbuh subur tersiram airmata yang deras mengucur.
Harapan itu mekar dan mengakar kokoh lebih dari sebelumnya. Sepasang kaki
kini memanjat tebing curam lewat dahan-dahan yang menanjak. Lalu tiba
di atas, kembali ke dunia luas. Disaksikan orang-orang yang terpukau melihat kilau. Kecewa, airmata
dan pengasingan mengasah manusia menjadi lebih kuat lagi.
Segala hal kenyataan yang mengonan hati. Pemahaman sempit
kita tentang sakit, patah, retak, pecah, hancur berserakan seolah sebatas
hukuman dariNya. Padahal, bisa jadi
Allah hanya sedang merindu agar kita datang menyendu, ingin hanya tanganNyalah yang
menyeka dan memeluk luka-luka kita. Andai kita memiliki seribu pasang mata yang
tersebar di tiap sudut bumi, akan kita saksikan bagaimana cara Allah membaikkan
kita dengan manisnya.
Semua tergantung dari sudut pandang mana kita menengok. Kurasa
sepasang mata saja cukup asal kita tak melihat kearah yang salah. Aku adalah apa yang dipersangkakan hambaKu. Jangan lupakan seruan itu.
Semoga tulisanku kali ini bisa menjadi pionir yang
menjadikan kita pemimpi besar berjiwa besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar