Kendaraan-kendaraan yang ditepikan
berjejer memenuhi pekarangan yang sedang kususuri. Sekumpulan orang yang
kupastikan adalah tamu undangan menyesaki teras rumah. Sebelum masuk dan
membaur, aku sempat terdiam menikmati pemandangan rumah yang dulu begitu kuakrabi.
Kini semua terasa asing. Kulewati pekarangan itu dengan gugup yang membenih.
“Nilam!” Gugupku pecah. Terhenyak.
Semua mata menyaksikan seorang wanita hambur memelukku. Mungkin yang mengerti
jalan cerita sebelumnya mampu menangkap haru yang terpendam.
“Darimana saja dik? Kau tiba-tiba
menghilang begitu saja.” Wanita itu melepas pelukan dengan pandangan nanar.
“Maaf Kak Rum.” Hanya sepatah kata itu yang
mampu kukeluarkan.
“Aku tahu kau pasti datang. Radit
ada di kamarnya, masuklah.” Aku mengangguk sambil tersenyum. Selalu, itu
kulakukan untuk meyakinkan seseorang bahwa aku baik-baik saja.
Pecahan gugupku kini menjadi
beling di langkahku menuju sebuah kamar yang tertutup rapat. Kukepalkan
tanganku, mengetuk gemetar. Perlahan sekat itu terbuka. Pandanganku menembus
tirai, seorang pria berdiri dengan setelan serba putih menatapku tak percaya.
Aku bisa melihat wajahnya yang seketika memucat. Apa kini aku seperti hantu
baginya?
Memutuskan untuk bertemu dengannya
lagi membuatku bisa merasakan rindu yang terobati juga teracuni sekaligus. Ada
rasa yang sebentar lagi menjadi dosa. Rasa yang harus kubunuh secepatnya. Aku
tak punya banyak waktu lagi.
“Harusnya kau tak perlu kemari. Nilam, tak ada
seorangpun yang paham apa yang kita pahami.” Tandasnya mengawali. Aku mencoba
tersenyum. Tidak peduli caraku kali ini berhasil meyakinkan atau tidak.
“Kau salah, Dit." Aku terdiam
sejenak sebelum melanjutkan.
"Kau hanya tahu, kita dua orang yang harus terpisah. Mereka bilang aku tak cukup pantas untukmu. Mungkin aku harus lebih tekun mempelajari adat istiadat agar tak boleh sembarangan meletakkan hati pada pria berdarah biru. Tapi..” Belum selesai aku bicara, ia menarikku masuk dan menutup pintu kamar.
"Kau hanya tahu, kita dua orang yang harus terpisah. Mereka bilang aku tak cukup pantas untukmu. Mungkin aku harus lebih tekun mempelajari adat istiadat agar tak boleh sembarangan meletakkan hati pada pria berdarah biru. Tapi..” Belum selesai aku bicara, ia menarikku masuk dan menutup pintu kamar.
“Kau mau orang-orang mendengar
percakapan kita? Sudahlah, kita
tak bisa apa-apa. Pernikahan ini harus terlaksana bagaimanapun caranya.”Jelasnya gusar.
Aku menghempas cengkramannya. “Kau mengira aku datang untuk mengacau?”
"Kau bisa melakukan itu jika
kau mau." Desisnya sinis. Aku diam tak membalas. Mati-matian mengulum
tangis yang nyaris tumpah.
“Sebelum akad dimulai, pulanglah
Nilam.” Suara Radit berubah lirih. Matanya kini menyendu.
“Aku tak ingin melukaimu lebih dalam
lagi, itu saja.” Ujarnya pasrah.
Pria
ini, aku ingat bagaimana ia menyayangi dan menjagaku dulu, juga omelan cemasnya yang
amat kusenangi. Akupun ingat cara ia meyakinkanku betapa yang kita punya selama
ini murah harganya, terbelikan oleh aturan keluarganya. Cara ia meremehkan
komitmen kita hari itu, aku ingat semuanya.
"Pria ini yang dulunya tersedu-sedu takut kehilanganku. Kini, ia menangis memintaku pergi. Takdir memang hebat. Bisa merubah perasaan seseorang selekas mungkin."
“Radit, segala caramu mengajariku
banyak hal pada akhirnya, termasuk menyadari kekeliruanku memahami cinta.
Perasaanku padamu kini tak terikat lagi, kau bisa menjadi siapapun untuk bisa
terus kucintai. Sahabat, adik, kakak bahkan musuh. Karena kau untukku, sebagai
apapun itu.”
“All the way you, let it be my way.”
Sambungku getir.
Buru-buru aku merogoh tas dan
mengeluarkan sebuah kotak kecil. “Kurasa ini bukan milikku, kau mungkin telah
menaruhnya di tempat yang salah.”
***
6 bulan yang lalu
“Cincin ini untuk wanita seumur
hidupku. Kemari Nilam, sepertinya ini hanya pas di jemarimu.”
-End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar